Pembebasan Makkah dari Kemusyrikan
Episode berikutnya dalam sejarah kemenangan kaum muslimin di bawah bimbingan kenabian yang terjadi di bulan Ramadhan adalah Fathu Makkah (penaklukan kota Mekkah). Peristiwa ini terjadi pad
a tahun delapan Hijriyah. Dengan peristiwa ini, Allah SWT menyelamatkan kota Makkah dari belenggu kesyirikan dan kedhaliman, menjadi kota bernafaskan Islam, dengan ruh tauhid dan sunnah. Dengan peristiwa ini, Allah SWT mengubah kota Makkah yang dulunya menjadi lambang kesombongan dan keangkuhan menjadi kota yang merupakan lambang keimanan dan kepasrahan kepada Allah SWT.
SEBAB TERJADINYA
257381_140178239390220_128071920600852_274721_2579036_o Diawali dari perjanjian damai antara kaum muslimin Madinah dengan orang musyrikin Quraisy yang ditandatangani pada nota kesepakatan Shulh Hudaibiyah pada tahun 6 Hijriyah. Termasuk diantara nota perjanjian adalah siapa saja diizinkan untuk bergabung dengan salah satu kubu, baik kubu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan kaum muslimin Madinah atau kubu orang kafir Quraisy Makkah. Maka, bergabunglah suku Khuza’ah di kubu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan suku Bakr bergabung di kubu orang kafir Quraisy. Padahal, dulu di zaman Jahiliyah, terjadi pertumpahan darah antara dua suku ini dan saling bermusuhan. Dengan adanya perjanjian Hudaibiyah, masing-masing suku melakukan gencatan senjata.
Namun, secara licik, Bani Bakr menggunakan kesempatan ini melakukan balas dendam kepada suku Khuza’ah. Bani Bakr melakukan serangan mendadak di malam hari pada Bani Khuza’ah ketika mereka sedang di mata air mereka. Secara diam-diam, orang kafir Quraisy mengirimkan bantuan personil dan senjata pada Bani Bakr. Akhirnya, datanglah beberapa orang diantara suku Khuza’ah menghadap Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam di Madinah. Mereka mengabarkan tentang pengkhianatan yang dilakukan oleh orang kafir Quraisy dan Bani Bakr.
Karena merasa bahwa dirinya telah melanggar perjanjian, orang kafir Quraisy pun mengutus Abu Sufyan ke Madinah untuk memperbarui isi perjanjian. Sesampainya di Madinah, dia memberikan penjelasan panjang lebar kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, namun beliau tidak menanggapinya dan tidak memperdulikannya. Akhirnya Abu Sufyan menemui Abu Bakar dan Umar Radliallahu ‘Anhuma agar mereka memberikan bantuan untuk membujuk Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Namun usahanya ini gagal. Terakhir kalinya, dia menemui Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu agar memberikan pertolongan kepadanya di hadapan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Untuk kesekian kalinya, Ali pun menolak permintaan Abu Sufyan. Dunia terasa sempit bagi Abu Sufyan, dia pun terus memelas agar diberi solusi. Kemudian, Ali memberikan saran,
“Demi Allah, aku tidak mengetahui sedikit pun solusi yang bermanfaat bagimu. Akan tetapi, bukankah Engkau seorang pemimpin Bani Kinanah? Maka, bangkitlah dan mintalah sendiri perlindungan kepada orang-orang. Kemudian, kembalilah ke daerahmu.”
Abu Sufyan berkata,
“Apakah menurutmu ini akan bermanfaat bagiku?”
Ali menjawab,
“Demi Allah, aku sendiri tidak yakin, tetapi aku tidak memiliki solusi lain bagimu.”
Abu Sufyan kemudian berdiri di masjid dan berkata,
“Wahai manusia, aku telah diberi perlindungan oleh orang-orang!”
Lalu dia naik ontanya dan beranjak pergi.
Dengan adanya pengkhianatan ini, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan para shahabat untuk menyiapkan senjata dan perlengkapan perang. Beliau mengajak semua shahabat untuk menyerang Makkah. Beliau barsabda, “Ya Allah, buatlah Quraisy tidak melihat dan tidak mendengar kabar hingga aku tiba di sana secara tiba-tiba.”
Dalam kisah ini ada pelajaran penting yang bisa dipetik, bahwa kaum muslimin dibolehkan untuk membatalkan perjanjian damai dengan orang kafir. Namun pembatalan perjanjian damai ini harus dilakukan seimbang. Artinya tidak boleh sepihak, tetapi masing-masing pihak tahu sama tahu. Allah berfirman,
“Jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan sama-sama tahu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (Qs. Al Anfal: 58)
KISAH HATIB BIN ABI BALTA’AH
Futuh-Makkah Untuk menjaga misi kerahasiaan ini, Rasulullah mengutus satuan pasukan sebanyak 80 orang menuju perkampungan antara Dzu Khasyab dan Dzul Marwah pada awal bulan Ramadhan. Hal ini beliau lakukan agar ada anggapan bahwa beliau hendak menuju ke tempat tersebut. Sementara itu, ada seorang shahabat Muhajirin, Hatib bin Abi Balta’ah menulis surat untuk dikirimkan ke orang Quraisy. Isi suratnya mengabarkan akan keberangkatan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menuju Makkah untuk melakukan serangan mendadak. Surat ini beliau titipkan kepada seorang wanita dengan upah tertentu dan langsung disimpan di gelungannya. Namun, Allah Dzat Yang Maha Melihat mewahyukan kepada NabiNya tentang apa yang dilakukan Hatib. Beliau-pun mengutus Ali dan Al Miqdad untuk mengejar wanita yang membawa surat tersebut.
Setelah Ali berhasil menyusul wanita tersebut, beliau langsung meminta suratnya. Namun, wanita itu berbohong dan mengatakan bahwa dirinya tidak membawa surat apapun. Ali memeriksa hewan tunggangannya, namun tidak mendapatkan apa yang dicari. Ali radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Aku bersumpah demi Allah, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam tidak bohong. Demi Allah, engkau keluarkan surat itu atau kami akan menelanjangimu.”
Setelah tahu kesungguhan Ali radhiyallahu ‘anhu, wanita itupun menyerahkan suratnya kepada Ali bin Abi Thalib.
Sesampainya di Madinah, Ali langsung menyerahkan surat tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Dalam surat tersebut tertulis nama Hatib bin Abi Balta’ah. Dengan bijak Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menanyakan alasan Hatib. Hatib bin Abi Balta’ah pun menjawab:
“Jangan terburu menuduhku wahai Rasulullah. Demi Allah, aku orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya. Aku tidak murtad dan tidak mengubah agamaku. Dulu aku adalah anak angkat di tengah Quraisy. Aku bukanlah apa-apa bagi mereka. Di sana aku memiliki istri dan anak. Sementara tidak ada kerabatku yang bisa melindungi mereka. Sementara orang-orang yang bersama Anda memiliki kerabat yang bisa melindungi mereka. Oleh karena itu, aku ingin ada orang yang bisa melindungi kerabatku di sana.”
Dengan serta merta Umar bin Al Khattab menawarkan diri,
“Wahai Rasulullah, biarkan aku memenggal lehernya, karena dia telah mengkhianati Allah dan RasulNya serta bersikap munafik.”
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dengan bijak menjawab,
“Sesungguhnya Hatib pernah ikut perang Badar… (Allah berfirman tentang pasukan Badar): Berbuatlah sesuka kalian, karena kalian telah Saya ampuni.”
Umar pun kemudian menangis, sambil mengatakan, “Allah dan rasulNya lebih mengetahui.”
Demikianlah maksud hati Hatib. Beliau berharap dengan membocorkan rahasia tersebut bisa menarik simpati orang Quraisy terhadap dirinya, sehingga mereka merasa berhutang budi terhadap Hatib. Dengan keadaan ini, beliau berharap orang Quraisy mau melindungi anak dan istrinya di Makkah. Meskipun demikian, perbuatan ini dianggap sebagai bentuk penghianatan dan dianggap sebagai bentuk loyal terhadap orang kafir karena dunia. Tentang kisah shahabat Hatib radhiyallahu ‘anhu ini diabadikan oleh Allah dalam firmanNya,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuhKu dan musuhmu sebagai teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang, padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah….” (Qs. Al Mumtahanah: 1)
Satu pelajaran penting yang bisa kita ambil dari kisah Hatib bin Abi Balta’ah radhiyallahu ‘anhu adalah bahwa sesungguhnya orang yang memberikan loyalitas terhadap orang kafir sampai menyebabkan ancaman bahaya terhadap Islam, pelakunya tidaklah divonis kafir, selama loyalitas ini tidak menyebabkan kecintaan karena agamanya. Pada ayat di atas, Allah menyebut orang yang melakukan tindakan semacam ini dengan panggilan, “Hai orang-orang yang beriman……” Ini menunjukkan bahwa status mereka belum kafir.
PASUKAN MUSLIMIN BERGERAK MENUJU MAKKAH
fathu-mekah Kemudian, beliau keluar Madinah bersama 10.000 shahabat yang siap perang pada tanggal 10 Ramadhan 8 H. Beliau memberi Abdullah bin Umi Maktum tugas untuk menggantikan posisi beliau di Madinah. Di tengah jalan, beliau bertemu dengan Abbas, paman beliau bersama keluarganya, yang bertujuan untuk berhijrah dan masuk Islam. Kemudian, di suatu tempat yang disebut Abwa’, beliau berjumpa dengan sepupunya, Ibnul Harits dan Abdullah bin Abi Umayah. Ketika masih kafir, dua orang ini termasuk diantara orang yang permusuhannya sangat keras terhadap Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Dengan kelembutannya, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menerima taubat mereka dan masuk Islam.
ABU SUFYAN MASUK ISLAM
“Abu Sofyan bin Al-Harits bin Abdul Muththalib dan Abdullah bin Abu Umaiyyah bin Al-Mughirah juga bertemu Rasulullah di Niqul Uqab, daerah di antara Makkah dengan Madinah. Keduanya ingin masuk menemui Rasulullah kemudian Ummu Salamah berkata kepada beliau tentang keduanya.
Ummu Salamah berkata, ‘Wahai Rasulullah, inilah anak paman dan bibimu, serta keluargamu’.
Rasulullah bersabda, “Aku tidak punya kepentingan dengan keduanya. Adapun anak pamanku, ia telah merusak kehormatanku. Sedang anak bibiku dan keluargaku, ia pernah mengatakan sesuatu tentang diriku di Makkah”
Ketika sabda Rasulullah disampaikan kepada keduanya, Abu Sofyan bin Al-Harits –ketika itu membawa anak kecilnya– berkata,
“Demi Allah, Muhammad harus mengizinkan aku masuk. Jika tidak, aku akan membawa anak kecil ini, kemudian kami berkelana ke dunia hingga kami mati karena lapar dan haus”.
Ketika Rasulullah mendengar ucapan Abu Sofyan bin Al-Harits tersebut, beliau terketuk hatinya, kemudian mengizinkan keduanya masuk menemui beliau. Keduanya pun masuk dan mengucapkan salam kepada beliau”.
“Abu Sofyan bin Al-Harits menyatakan ke-Islamannya dan permohonan maafnya akan dosa-dosa masa silamnya,
‘Aku bersumpah, ketika aku membawa bendera perang musyrik
Pasukan berkuda Lata mengalahkan pasukan berkuda Muhammad
Aku seperti orang yang berjalan di malam hari yang gelap dalam keadaan bingung
Dan sekarang aku telah mendapatkan petunjuk dan diberi petunjuk
Aku diberi petunjuk oleh pemberi petunjuk selain diriku
Orang yang pernah aku usir bersama Allah telah mendapatkanku
Dulu aku bersungguh-sungguh menghalang-halangi manusia dari Muhammad
Aku tetap dihormati kendati aku tidak bergabung dengan Muhammad
Bukan orang musyrik namanya bila tidak berkata dengan hawa nafsu
Kendati ia punya pikiran kotor dan berkata dusta
Aku ingin keridhaan mereka
Dan aku tidak dekat dengan kaum jika aku tidak diberi petunjuk di semua tempat
Katakan kepada Tsaqif, aku tidak ingin menyerang kalian
Dan katakan kepada Tsaqif, silakan ancam orang selain aku
Aku tidak ikut dalam pasukan yang menangkap Amir
Itu bukan ulah lisan dan tanganku
Kabilah-kabilah datang dari tempat jauh
Mereka datang dari Saham dan Surdad (nama tempat di wilayah ‘Ikk)’.”
“Para ulama mengatakan bahwa ketika Abu Sofyan bin Al-Harits melantunkan bait syair berikut kepada Rasulullah, ‘Orang yang pernah aku usir bersama Allah telah mendapatkanku, beliau menepuk dadanya, kemudian bersabda, ‘Engkaulah orang yang pernah mengusirku?’”
Ketika Rasulullah berhenti di Marru Adz-Dzahran, Al-Abbas bin Abdul Muththalib berkata, “Hati-hatilah hai oarang-orang Quraisy pagi ini. Demi Allah, jika Rasulullah memasuki Makkah dengan kekerasan dan sebelum itu mereka (orang-orang Quraisy) tidak datang meminta jaminan keamanan kepada beliau, maka itu adalah kehancuran mereka sepanjang zaman”.
Al-Abbas bin Abdul Muththalib berkata,
“Setelah itu, aku duduk di atas Baghal milik Rasulullah yang berwarna putih dan keluar dengan menaikinya. Ketika aku tiba di pohon ‘Arak, aku berkata, ‘Mudah-mudahan aku dapat bertemu salah seorang pencari kayu bakar, atau penggembala unta, atau penggembala kambing, atau orang yang mempunyai keperluan pergi ke Makkah, yang bisa menjelaskan kepada mereka kebe-radaan Rasulullah, kemudian mereka datang kepada beliau untuk memin-ta jaminan keamanan kepada beliau sebelum beliau memasuki ke tempat mereka dengan kekerasan”.
Demi Allah, aku terus berjalan di atas baghal milik Rasulullah dan mencari salah satu dari orang yang aku cari. Tiba-tiba aku mendengar ucapan Abu Sofyan bin Harb dan Budail bin Warqa’ yang sedang tukar pendapat. Abu Sofyan bin Harb berkata, “Aku tidak pernah melihat api dan markas tentara seperti pada malam ini”.
Budail bin Warqa’ berkata, ‘Demi Allah, itu adalah kabilah Khuza’ah yang sedang menyalakan api’.
Abu Sofyan bin Harb berkata, ‘Api kabilah Khuza’ah dan markasnya tidak sebesar itu’.
Aku mengenali suara Abu Sofyan bin Harb. Aku berkata, ‘Hai Abu Handzalah’.
Abu Sofyan bin Harb juga mengenali suaraku, kemudian ia berkata, ‘Hai Abu Al-Fadhl’.
Aku berkata, ‘Ya betul’. Abu Sofyan bin Harb berkata, ‘Ayah-ibuku menjadi tebusanmu, apakah gerangan yang menimpamu?’
Aku berkata, ‘Celakalah engkau wahai Abu Sofyan, inilah Rasulullah sedang bersama pengikutnya. Demi Allah, hati-hatilah orang-orang Quraisy pada pagi ini’.
Abu Sofyan bin Harb berkata, “Ayah-ibuku menjadi tebusanmu, bagaimana cara menghindar dari itu semua?”
Ibnu Abbas berkata, “Demi Allah, jika Rasulullah berhasil menangkapmu, beliau pasti memenggal lehermu. Oleh karena itu, naiklah di belakang baghal ini, hingga aku membawamu ke tempat Rasulullah, kemudian engkau meminta jaminan keamanan untukmu kepada beliau”.
Abu Sofyan bin Harb pun naik di belakangku, sedang kedua temannya pulang ke Makkah. Aku membawa Abu Sofyan bin Harb dan setiap kali aku melewati api kaum muslimin, mereka bertanya, ‘Siapa orang ini?”
Ketika mereka melihat Baghal milik Rasulullah dan aku berada di atasnya, mereka berkata, “Paman Rasulullah sedang mengendarai Baghal beliau”.
Aku terus berjalan hingga melewati api Umar bin Khaththab. Ia berkata, ‘Siapa ini?’
Ia mendekatiku dan ketika ia melihat Abu Sofyan bin Harb, ia berkata, “Abu Sofyan musuh Allah. Segala puji bagi Allah yang telah menaklukkanmu tanpa perjanjian sebelumnya”
Ketika Umar bin Khaththab berlari menuju tempat Rasulullah, sedang aku memacu Baghal hingga mendahului Umar bin Khaththab seper-ti halnya hewan pelan yang mendahului orang yang jalannya pelan. Aku turun dari baghal kemudian masuk ke tempat Rasulullah dan pada saat yang sama Umar bin Khaththab masuk ke tempat beliau.
Umar bin Khaththab berkata, ‘Wahai Rasulullah, inilah Abu Sofyan. Allah telah menaklukkannya tanpa perjanjian sebelumnya. Oleh karena itu, izinkan aku memenggal lehernya’.
Ibnu Abbas berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah melindungi Abu Sofyan bin Harb”.
Setelah itu, aku duduk dekat Rasulullah dan memegang kepala beliau sambil berkata, “Demi Allah, pada malam ini tidak boleh ada orang lain selian diriku yang berbicara denganmu”.
Ketika Umar bin Khaththab banyak bicara tentang Abu Sofyan bin Harb, aku berkata, “Tahan dirimu hai Umar. Demi Allah, seandainya Abu Sofyan bin Harb berasal dari Bani Adi bin Ka’ab, engkau tidak akan berkata seperti tadi. Engkau berkata seperti tadi, karena engkau tahu bahwa Abu Sofyan bin Harb berasal dari Bani Abdu Manaf’.
Umar bin Khaththab berkata, ‘Tahan dirimu, hai Al-Abbas. Demi Allah, ke-Islamanmu ketika engkau masuk Islam itu lebih aku sukai daripada ke-Islaman Khaththab jika ia masuk Islam. Aku juga tahu kalau ke-Islamanmu itu lebih disukai Rasulullah daripada ke-Islaman Khaththab jika ia masuk Islam.
Rasulullah bersabda, ‘Hai Al-Abbas, pergilah dengan Abu Sofyan bin Harb ke tempat istirahatmu dan meng-hadaplah kepadaku esok hari’.”
Al-Abbas bin Abdul Muththalib berkata, “Aku membawa pergi Abu Sofyan bin Harb ke tempat istirahatku dan ia menginap di tempatku”
Esok paginya, aku membawa Abu Sofyan bin Harb ke tempat Rasulullah. Ketika beliau melihat Abu Sofyan bin Harb, beliau bersabda, ‘Celakalah engkau wahai Abu Sofyan, apakah belum tiba waktu bagimu untuk mengetahui bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah?’
Abu Sofyan bin Harb berkata, “Ayah-ibuku menjadi tebusan bagimu, engkau amat lembut, mulia, dan penyambung hubungan kekera-batan. Demi Allah, sungguh aku telah meyakini seandainya ada Tuhan lain selain Allah, maka Tuhan tersebut pasti mencukupiku dengan sesuatu”.
Rasulullah bersabda, “Celakalah engkau hai Abu Sofyan, apakah belum tiba bagimu untuk mengetahui bahwa aku adalah utusan Allah?”
Abu Sofyan bin Harb berkata, “Ayah-ibuku menjadi tebusan bagimu, engkau amat lembut, mulia, dan penyambung kekerabatan. Adapun hal ini, demi Allah, di hatiku masih terdapat ganjalan hingga sekarang ini”.
Al-Abbas bin Abdul Muththalib berkata kepada Abu Sofyan bin Harb, “Celakalah engkau, hai Abu Sofyan, masuk Islamlah. Bersaksilah bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah sebelum engkau dipenggal lehermu”.
Abu Sofyan bin Harb pun bersaksi dengan syahadat yang benar dan masuk Islam.
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, Abu Sofyan bin Harb adalah orang yang senang dengan kebanggaan, oleh karena itu, berikan sesuatu kepadanya”.
Rasulullah bersabda, “Ya, barangsiapa memasuki rumah Abu Sofyan bin Harb, ia aman. Barangsiapa menutup pintu rumah-nya, ia aman. Dan barangsiapa memasuki Masjidil Haram, ia aman.”
KEKUATAN PASUKAN KAUM MUSLIMIN YANG DISAKSIKAN ABU SUFYAN
“Ketika Abu Sofyan bin Harb telah pergi, Rasulullah bersabda, ‘Hai Al-Abbas, tahan Abu Sofyan bin Harb di tempat sempit di depan gunung, agar pasukan Allah melewatinya dan ia melihat mereka”.
Aku segera keluar dan menahan Abu Sofyan bin Harb di tempat yang diperintahkan Rasulullah. Tidak lama kemudian, berbagai kabilah berjalan melewatinya dengan membawa bendera masing-masing. Setiap satu kabilah lewat, Abu Sofyan bin Harb berkata, ‘Hai Al-Abbas, siapa ini?’.
Aku berkata, “Ini kabilah Sulaim”.
Abu Sofyan bin Harb berkata, “Apa urusanku dengan kabilah Sulaim”.
Kabilah lain lewat, kemudian Abu Sofyan bin Harb berkata, “Hai Al-Abbas, ini siapa?”.
Aku berkata, “Ini kabilah Muzainah”.
Abu Sofyan bin Harb berkata, “Apa urusanku dengan kabilah Muzainah”.
Setiap kali kabilah lewat, Abu Sofyan bertanya kepadaku tentang kabilah tersebut dan ketika aku telah menjelaskan kabilah tersebut kepadanya, ia berkata, “Apa urusanku dengannya”. Itulah hingga akhirnya Rasulullah lewat dengan pasukannya yang berwarna hijau
Setelah agak jauh dari pasukan, Abu Sufyan melihat segerombolan pasukan besar. Dia lantas bertanya, “Subhanallah, wahai Abbas, siapakah mereka ini?”
Abbas menjawab: “Itu adalah Rasulullah bersama muhajirin dan anshar.”
Abu Sufyan bergumam, “Tidak seorang-pun yang sanggup dan kuat menghadapi mereka.”
Abbas berkata: “Wahai Abu Sufyan, itu adalah Nubuwwah.”
Bendera Anshar dipegang oleh Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu. Ketika melewati tempat Abbas dan Abu Sufyan, Sa’ad berkata,
“Hari ini adalah hari pembantaian. Hari dihalalkannya tanah al haram. Hari ini Allah menghinakan Quraisy.”
Ketika ketemu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, perkataan Sa’ad ini disampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Beliau pun menjawab,
“Sa’ad keliru, justru hari ini adalah hari diagungkannya Ka’bah dan dimuliakannya Quraisy oleh Allah.”
Kemudian, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan agar bendera di tangan Sa’d diambil dan diserahkan kepada anaknya, Qois. Akan tetapi, ternyata bendera itu tetap di tangan Sa’d. Ada yang mengatakan bendera tersebut diserahkan ke Zubair dan ditancapkan di daerah Hajun.
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam melanjutkan perjalanan hingga memasuki Dzi Thuwa. Di sana Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menundukkan kepalanya hingga ujung jenggot beliau yang mulia hampir menyentuh pelana. Hal ini sebagai bentuk tawadlu’ beliau kepada Sang Pengatur alam semesta.
Di sini pula, beliau membagi pasukan. Khalid bin Walid ditempatkan di sayap kanan untuk memasuki Makkah dari dataran rendah dan menunggu kedatangan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam di Shafa. Sementara Zubair bin Awwam memimpin pasukan sayap kiri, membawa bendera Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan memasuki Makkah melalui dataran tingginya. Beliau perintahkan agar menancapkan bendera di daerah Hajun dan tidak meninggalkan tempat tersebut hingga beliau datang.
Di dekat kuburan Abu Tholib dan Khodijah yang terletak di punggung Mekah, kaum muslimin membuat kubah untuk Nabi. Dari kubah inilah Nabi mengamati dengan cermat arus pasukan Islam yang masuk ke kota dari empat penjuru.
RASULULLAH MEMASUKI KOTA MAKKAH
old-makkah Kemudian, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memasuki kota Makkah dengan tetap menundukkan kepala sambil membaca firman Allah:
“Sesungguhnya kami memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.” (Qs. Al Fath: 1)
Beliau mengumumkan kepada penduduk Makkah,
“Siapa yang masuk masjid maka dia aman, siapa yang masuk rumah Abu Sufyan maka dia aman, siapa yang masuk rumahnya dan menutup pintunya maka dia aman.”
Beliau terus berjalan hingga sampai di Masjidil Haram. Beliau thawaf dengan menunggang onta sambil membawa busur yang beliau gunakan untuk menggulingkan berhala-berhala di sekeliling Ka’bah yang beliau lewati. Saat itu, beliau membaca firman Allah:
“Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (Qs. Al-Isra’: 81)
“Kebenaran telah datang dan yang batil itu tidak akan memulai dan tidak (pula) akan mengulangi.” (Qs. Saba’: 49)
Kemudian, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memasuki Ka’bah. Beliau melihat ada gambar Ibrahim bersama Ismail yang sedang berbagi anak panah ramalan.
Beliau bersabda, “Semoga Allah membinasakan mereka. Demi Allah, sekali-pun Ibrahim tidak pernah mengundi dengan anak panah ini.”
Kemudian, beliau perintahkan untuk menghapus semua gambar yang ada di dalam Ka’bah. Kemudian, beliau shalat. Seusai shalat beliau mengitari dinding bagian dalam Ka’bah dan bertakbir di bagian pojok-pojok Ka’bah. Sementara orang-orang Quraisy berkerumun di dalam masjid, menunggu keputusan beliau shallallahu ‘alahi wa sallam.
Orang-orang Quraisy yang berada di Makkah menunggu bibir Muhammad berucap tentang mereka, apakah yang akan terjadi pada mereka, namun bibir itu begitu mulia untuk menjatuhkan hukuman, ia memberikan pengampunan kepada mereka yang telah memeranginya
Dengan memegangi pinggiran pintu Ka’bah, beliau bersabda:
“Wahai orang Quraisy, sesungguhnya Allah telah menghilangkan kesombongan jahiliyah dan pengagungan terhadap nenek moyang. Manusia dari Adam dan Adam dari tanah.”
“Wahai orang Quraisy, apa yang kalian bayangankan tentang apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?” Merekapun menjawab, “Yang baik-baik, sebagai saudara yang mulia, anak dari saudara yang mulia.”
“Aku sampaikan kepada kalian sebagaimana perkataan Yusuf kepada saudaranya: ‘Pada hari ini tidak ada cercaan atas kalian. Allah mengampuni kalian. Dia Maha penyayang.’ Pergilah kalian! Sesungguhnya kalian telah bebas!”
HARI KEDUA FATHU MAKKAH
Pada hari kedua, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berkhutbah di hadapan manusia. Setelah membaca tahmid beliau bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan Makkah. Maka tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menumpahkan darah dan mematahkan batang pohon di sana. Jika ada orang yang beralasan dengan perang yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, maka jawablah: “Sesungguhnya Allah mengizinkan RasulNya shallallahu ‘alahi wa sallam dan tidak mengizinkan kalian. Allah hanya mengizinkan untukku beberapa saat di siang hari. Hari ini Keharaman Makkah telah kembali sebagaimana keharamannya sebelumnya. Maka hendaknya orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.”
Orang orang Quraisy berdesak-desakkan di bukit Shafa untuk memberikan Baiat.
PENGAJARAN RASULULLAH SAW
Rasulullah SAW tinggal selama 20 hari di Makkah untuk memberikan pengajaran Islam kepada masyarakat. Beliau juga mengutus pasukan ke berbagai daerah sekitar Makkah untuk menghancurkan berhala-berhala yang selama ratusan tahun disembah oleh suku-suku Arab.
Dahulu saat pertama kali berdakwah di bukti Shafa, beliau dicaci maki dan dilempari kerikil. Kini seluruh penduduk Makkah menghadiri dakwah beliau dengan mata yang melihat, telinga yang mendengar, dan hati yang menerima. Kini beliau dengan lantang mencabut paganisme dan budaya jahiliyah sampai ke akar-akarnya. Di hari penaklukan Makkah, beliau berkhutbah:
“Wahai manusia! Sesungguhnya Allah telah melenyapkan fanatisme jahiliyah dan kebanggaan dengan nenek moyang dari diri kalian. Manusia hanya ada dua; orang mukmin lagi bertakwa yang mulia di sisi Allah, dan orang durjana yang celaka lagi hina di sisi Allah. Semua manusia keturunan Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah. Allah berfirman,
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat (49): 13)
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam diizinkan Allah untuk berperang di Makkah hanya pada hari penaklukan kota Makkah dari sejak terbit matahari hingga ashar. Beliau tinggal di Makkah selama sembilan hari dengan selalu mengqashar shalat dan tidak berpuasa Ramadhan di sisa hari bulan Ramadhan.
Sejak saat itulah, Makkah menjadi negeri Islam, sehingga tidak ada lagi hijrah dari Makkah menuju Madinah.
Demikianlah kemenangan yang sangat nyata bagi kaum muslimin. Telah sempurna pertolongan Allah. Suku-suku arab berbondong-bondong masuk Islam. Demikianlah karunia besar yang Allah berikan.
SEBAB TERJADINYA
257381_140178239390220_128071920600852_274721_2579036_o Diawali dari perjanjian damai antara kaum muslimin Madinah dengan orang musyrikin Quraisy yang ditandatangani pada nota kesepakatan Shulh Hudaibiyah pada tahun 6 Hijriyah. Termasuk diantara nota perjanjian adalah siapa saja diizinkan untuk bergabung dengan salah satu kubu, baik kubu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan kaum muslimin Madinah atau kubu orang kafir Quraisy Makkah. Maka, bergabunglah suku Khuza’ah di kubu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan suku Bakr bergabung di kubu orang kafir Quraisy. Padahal, dulu di zaman Jahiliyah, terjadi pertumpahan darah antara dua suku ini dan saling bermusuhan. Dengan adanya perjanjian Hudaibiyah, masing-masing suku melakukan gencatan senjata.
Namun, secara licik, Bani Bakr menggunakan kesempatan ini melakukan balas dendam kepada suku Khuza’ah. Bani Bakr melakukan serangan mendadak di malam hari pada Bani Khuza’ah ketika mereka sedang di mata air mereka. Secara diam-diam, orang kafir Quraisy mengirimkan bantuan personil dan senjata pada Bani Bakr. Akhirnya, datanglah beberapa orang diantara suku Khuza’ah menghadap Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam di Madinah. Mereka mengabarkan tentang pengkhianatan yang dilakukan oleh orang kafir Quraisy dan Bani Bakr.
Karena merasa bahwa dirinya telah melanggar perjanjian, orang kafir Quraisy pun mengutus Abu Sufyan ke Madinah untuk memperbarui isi perjanjian. Sesampainya di Madinah, dia memberikan penjelasan panjang lebar kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, namun beliau tidak menanggapinya dan tidak memperdulikannya. Akhirnya Abu Sufyan menemui Abu Bakar dan Umar Radliallahu ‘Anhuma agar mereka memberikan bantuan untuk membujuk Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Namun usahanya ini gagal. Terakhir kalinya, dia menemui Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu agar memberikan pertolongan kepadanya di hadapan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Untuk kesekian kalinya, Ali pun menolak permintaan Abu Sufyan. Dunia terasa sempit bagi Abu Sufyan, dia pun terus memelas agar diberi solusi. Kemudian, Ali memberikan saran,
“Demi Allah, aku tidak mengetahui sedikit pun solusi yang bermanfaat bagimu. Akan tetapi, bukankah Engkau seorang pemimpin Bani Kinanah? Maka, bangkitlah dan mintalah sendiri perlindungan kepada orang-orang. Kemudian, kembalilah ke daerahmu.”
Abu Sufyan berkata,
“Apakah menurutmu ini akan bermanfaat bagiku?”
Ali menjawab,
“Demi Allah, aku sendiri tidak yakin, tetapi aku tidak memiliki solusi lain bagimu.”
Abu Sufyan kemudian berdiri di masjid dan berkata,
“Wahai manusia, aku telah diberi perlindungan oleh orang-orang!”
Lalu dia naik ontanya dan beranjak pergi.
Dengan adanya pengkhianatan ini, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan para shahabat untuk menyiapkan senjata dan perlengkapan perang. Beliau mengajak semua shahabat untuk menyerang Makkah. Beliau barsabda, “Ya Allah, buatlah Quraisy tidak melihat dan tidak mendengar kabar hingga aku tiba di sana secara tiba-tiba.”
Dalam kisah ini ada pelajaran penting yang bisa dipetik, bahwa kaum muslimin dibolehkan untuk membatalkan perjanjian damai dengan orang kafir. Namun pembatalan perjanjian damai ini harus dilakukan seimbang. Artinya tidak boleh sepihak, tetapi masing-masing pihak tahu sama tahu. Allah berfirman,
“Jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan sama-sama tahu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (Qs. Al Anfal: 58)
KISAH HATIB BIN ABI BALTA’AH
Futuh-Makkah Untuk menjaga misi kerahasiaan ini, Rasulullah mengutus satuan pasukan sebanyak 80 orang menuju perkampungan antara Dzu Khasyab dan Dzul Marwah pada awal bulan Ramadhan. Hal ini beliau lakukan agar ada anggapan bahwa beliau hendak menuju ke tempat tersebut. Sementara itu, ada seorang shahabat Muhajirin, Hatib bin Abi Balta’ah menulis surat untuk dikirimkan ke orang Quraisy. Isi suratnya mengabarkan akan keberangkatan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menuju Makkah untuk melakukan serangan mendadak. Surat ini beliau titipkan kepada seorang wanita dengan upah tertentu dan langsung disimpan di gelungannya. Namun, Allah Dzat Yang Maha Melihat mewahyukan kepada NabiNya tentang apa yang dilakukan Hatib. Beliau-pun mengutus Ali dan Al Miqdad untuk mengejar wanita yang membawa surat tersebut.
Setelah Ali berhasil menyusul wanita tersebut, beliau langsung meminta suratnya. Namun, wanita itu berbohong dan mengatakan bahwa dirinya tidak membawa surat apapun. Ali memeriksa hewan tunggangannya, namun tidak mendapatkan apa yang dicari. Ali radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Aku bersumpah demi Allah, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam tidak bohong. Demi Allah, engkau keluarkan surat itu atau kami akan menelanjangimu.”
Setelah tahu kesungguhan Ali radhiyallahu ‘anhu, wanita itupun menyerahkan suratnya kepada Ali bin Abi Thalib.
Sesampainya di Madinah, Ali langsung menyerahkan surat tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Dalam surat tersebut tertulis nama Hatib bin Abi Balta’ah. Dengan bijak Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menanyakan alasan Hatib. Hatib bin Abi Balta’ah pun menjawab:
“Jangan terburu menuduhku wahai Rasulullah. Demi Allah, aku orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya. Aku tidak murtad dan tidak mengubah agamaku. Dulu aku adalah anak angkat di tengah Quraisy. Aku bukanlah apa-apa bagi mereka. Di sana aku memiliki istri dan anak. Sementara tidak ada kerabatku yang bisa melindungi mereka. Sementara orang-orang yang bersama Anda memiliki kerabat yang bisa melindungi mereka. Oleh karena itu, aku ingin ada orang yang bisa melindungi kerabatku di sana.”
Dengan serta merta Umar bin Al Khattab menawarkan diri,
“Wahai Rasulullah, biarkan aku memenggal lehernya, karena dia telah mengkhianati Allah dan RasulNya serta bersikap munafik.”
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dengan bijak menjawab,
“Sesungguhnya Hatib pernah ikut perang Badar… (Allah berfirman tentang pasukan Badar): Berbuatlah sesuka kalian, karena kalian telah Saya ampuni.”
Umar pun kemudian menangis, sambil mengatakan, “Allah dan rasulNya lebih mengetahui.”
Demikianlah maksud hati Hatib. Beliau berharap dengan membocorkan rahasia tersebut bisa menarik simpati orang Quraisy terhadap dirinya, sehingga mereka merasa berhutang budi terhadap Hatib. Dengan keadaan ini, beliau berharap orang Quraisy mau melindungi anak dan istrinya di Makkah. Meskipun demikian, perbuatan ini dianggap sebagai bentuk penghianatan dan dianggap sebagai bentuk loyal terhadap orang kafir karena dunia. Tentang kisah shahabat Hatib radhiyallahu ‘anhu ini diabadikan oleh Allah dalam firmanNya,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuhKu dan musuhmu sebagai teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang, padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah….” (Qs. Al Mumtahanah: 1)
Satu pelajaran penting yang bisa kita ambil dari kisah Hatib bin Abi Balta’ah radhiyallahu ‘anhu adalah bahwa sesungguhnya orang yang memberikan loyalitas terhadap orang kafir sampai menyebabkan ancaman bahaya terhadap Islam, pelakunya tidaklah divonis kafir, selama loyalitas ini tidak menyebabkan kecintaan karena agamanya. Pada ayat di atas, Allah menyebut orang yang melakukan tindakan semacam ini dengan panggilan, “Hai orang-orang yang beriman……” Ini menunjukkan bahwa status mereka belum kafir.
PASUKAN MUSLIMIN BERGERAK MENUJU MAKKAH
fathu-mekah Kemudian, beliau keluar Madinah bersama 10.000 shahabat yang siap perang pada tanggal 10 Ramadhan 8 H. Beliau memberi Abdullah bin Umi Maktum tugas untuk menggantikan posisi beliau di Madinah. Di tengah jalan, beliau bertemu dengan Abbas, paman beliau bersama keluarganya, yang bertujuan untuk berhijrah dan masuk Islam. Kemudian, di suatu tempat yang disebut Abwa’, beliau berjumpa dengan sepupunya, Ibnul Harits dan Abdullah bin Abi Umayah. Ketika masih kafir, dua orang ini termasuk diantara orang yang permusuhannya sangat keras terhadap Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Dengan kelembutannya, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menerima taubat mereka dan masuk Islam.
ABU SUFYAN MASUK ISLAM
“Abu Sofyan bin Al-Harits bin Abdul Muththalib dan Abdullah bin Abu Umaiyyah bin Al-Mughirah juga bertemu Rasulullah di Niqul Uqab, daerah di antara Makkah dengan Madinah. Keduanya ingin masuk menemui Rasulullah kemudian Ummu Salamah berkata kepada beliau tentang keduanya.
Ummu Salamah berkata, ‘Wahai Rasulullah, inilah anak paman dan bibimu, serta keluargamu’.
Rasulullah bersabda, “Aku tidak punya kepentingan dengan keduanya. Adapun anak pamanku, ia telah merusak kehormatanku. Sedang anak bibiku dan keluargaku, ia pernah mengatakan sesuatu tentang diriku di Makkah”
Ketika sabda Rasulullah disampaikan kepada keduanya, Abu Sofyan bin Al-Harits –ketika itu membawa anak kecilnya– berkata,
“Demi Allah, Muhammad harus mengizinkan aku masuk. Jika tidak, aku akan membawa anak kecil ini, kemudian kami berkelana ke dunia hingga kami mati karena lapar dan haus”.
Ketika Rasulullah mendengar ucapan Abu Sofyan bin Al-Harits tersebut, beliau terketuk hatinya, kemudian mengizinkan keduanya masuk menemui beliau. Keduanya pun masuk dan mengucapkan salam kepada beliau”.
“Abu Sofyan bin Al-Harits menyatakan ke-Islamannya dan permohonan maafnya akan dosa-dosa masa silamnya,
‘Aku bersumpah, ketika aku membawa bendera perang musyrik
Pasukan berkuda Lata mengalahkan pasukan berkuda Muhammad
Aku seperti orang yang berjalan di malam hari yang gelap dalam keadaan bingung
Dan sekarang aku telah mendapatkan petunjuk dan diberi petunjuk
Aku diberi petunjuk oleh pemberi petunjuk selain diriku
Orang yang pernah aku usir bersama Allah telah mendapatkanku
Dulu aku bersungguh-sungguh menghalang-halangi manusia dari Muhammad
Aku tetap dihormati kendati aku tidak bergabung dengan Muhammad
Bukan orang musyrik namanya bila tidak berkata dengan hawa nafsu
Kendati ia punya pikiran kotor dan berkata dusta
Aku ingin keridhaan mereka
Dan aku tidak dekat dengan kaum jika aku tidak diberi petunjuk di semua tempat
Katakan kepada Tsaqif, aku tidak ingin menyerang kalian
Dan katakan kepada Tsaqif, silakan ancam orang selain aku
Aku tidak ikut dalam pasukan yang menangkap Amir
Itu bukan ulah lisan dan tanganku
Kabilah-kabilah datang dari tempat jauh
Mereka datang dari Saham dan Surdad (nama tempat di wilayah ‘Ikk)’.”
“Para ulama mengatakan bahwa ketika Abu Sofyan bin Al-Harits melantunkan bait syair berikut kepada Rasulullah, ‘Orang yang pernah aku usir bersama Allah telah mendapatkanku, beliau menepuk dadanya, kemudian bersabda, ‘Engkaulah orang yang pernah mengusirku?’”
Ketika Rasulullah berhenti di Marru Adz-Dzahran, Al-Abbas bin Abdul Muththalib berkata, “Hati-hatilah hai oarang-orang Quraisy pagi ini. Demi Allah, jika Rasulullah memasuki Makkah dengan kekerasan dan sebelum itu mereka (orang-orang Quraisy) tidak datang meminta jaminan keamanan kepada beliau, maka itu adalah kehancuran mereka sepanjang zaman”.
Al-Abbas bin Abdul Muththalib berkata,
“Setelah itu, aku duduk di atas Baghal milik Rasulullah yang berwarna putih dan keluar dengan menaikinya. Ketika aku tiba di pohon ‘Arak, aku berkata, ‘Mudah-mudahan aku dapat bertemu salah seorang pencari kayu bakar, atau penggembala unta, atau penggembala kambing, atau orang yang mempunyai keperluan pergi ke Makkah, yang bisa menjelaskan kepada mereka kebe-radaan Rasulullah, kemudian mereka datang kepada beliau untuk memin-ta jaminan keamanan kepada beliau sebelum beliau memasuki ke tempat mereka dengan kekerasan”.
Demi Allah, aku terus berjalan di atas baghal milik Rasulullah dan mencari salah satu dari orang yang aku cari. Tiba-tiba aku mendengar ucapan Abu Sofyan bin Harb dan Budail bin Warqa’ yang sedang tukar pendapat. Abu Sofyan bin Harb berkata, “Aku tidak pernah melihat api dan markas tentara seperti pada malam ini”.
Budail bin Warqa’ berkata, ‘Demi Allah, itu adalah kabilah Khuza’ah yang sedang menyalakan api’.
Abu Sofyan bin Harb berkata, ‘Api kabilah Khuza’ah dan markasnya tidak sebesar itu’.
Aku mengenali suara Abu Sofyan bin Harb. Aku berkata, ‘Hai Abu Handzalah’.
Abu Sofyan bin Harb juga mengenali suaraku, kemudian ia berkata, ‘Hai Abu Al-Fadhl’.
Aku berkata, ‘Ya betul’. Abu Sofyan bin Harb berkata, ‘Ayah-ibuku menjadi tebusanmu, apakah gerangan yang menimpamu?’
Aku berkata, ‘Celakalah engkau wahai Abu Sofyan, inilah Rasulullah sedang bersama pengikutnya. Demi Allah, hati-hatilah orang-orang Quraisy pada pagi ini’.
Abu Sofyan bin Harb berkata, “Ayah-ibuku menjadi tebusanmu, bagaimana cara menghindar dari itu semua?”
Ibnu Abbas berkata, “Demi Allah, jika Rasulullah berhasil menangkapmu, beliau pasti memenggal lehermu. Oleh karena itu, naiklah di belakang baghal ini, hingga aku membawamu ke tempat Rasulullah, kemudian engkau meminta jaminan keamanan untukmu kepada beliau”.
Abu Sofyan bin Harb pun naik di belakangku, sedang kedua temannya pulang ke Makkah. Aku membawa Abu Sofyan bin Harb dan setiap kali aku melewati api kaum muslimin, mereka bertanya, ‘Siapa orang ini?”
Ketika mereka melihat Baghal milik Rasulullah dan aku berada di atasnya, mereka berkata, “Paman Rasulullah sedang mengendarai Baghal beliau”.
Aku terus berjalan hingga melewati api Umar bin Khaththab. Ia berkata, ‘Siapa ini?’
Ia mendekatiku dan ketika ia melihat Abu Sofyan bin Harb, ia berkata, “Abu Sofyan musuh Allah. Segala puji bagi Allah yang telah menaklukkanmu tanpa perjanjian sebelumnya”
Ketika Umar bin Khaththab berlari menuju tempat Rasulullah, sedang aku memacu Baghal hingga mendahului Umar bin Khaththab seper-ti halnya hewan pelan yang mendahului orang yang jalannya pelan. Aku turun dari baghal kemudian masuk ke tempat Rasulullah dan pada saat yang sama Umar bin Khaththab masuk ke tempat beliau.
Umar bin Khaththab berkata, ‘Wahai Rasulullah, inilah Abu Sofyan. Allah telah menaklukkannya tanpa perjanjian sebelumnya. Oleh karena itu, izinkan aku memenggal lehernya’.
Ibnu Abbas berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah melindungi Abu Sofyan bin Harb”.
Setelah itu, aku duduk dekat Rasulullah dan memegang kepala beliau sambil berkata, “Demi Allah, pada malam ini tidak boleh ada orang lain selian diriku yang berbicara denganmu”.
Ketika Umar bin Khaththab banyak bicara tentang Abu Sofyan bin Harb, aku berkata, “Tahan dirimu hai Umar. Demi Allah, seandainya Abu Sofyan bin Harb berasal dari Bani Adi bin Ka’ab, engkau tidak akan berkata seperti tadi. Engkau berkata seperti tadi, karena engkau tahu bahwa Abu Sofyan bin Harb berasal dari Bani Abdu Manaf’.
Umar bin Khaththab berkata, ‘Tahan dirimu, hai Al-Abbas. Demi Allah, ke-Islamanmu ketika engkau masuk Islam itu lebih aku sukai daripada ke-Islaman Khaththab jika ia masuk Islam. Aku juga tahu kalau ke-Islamanmu itu lebih disukai Rasulullah daripada ke-Islaman Khaththab jika ia masuk Islam.
Rasulullah bersabda, ‘Hai Al-Abbas, pergilah dengan Abu Sofyan bin Harb ke tempat istirahatmu dan meng-hadaplah kepadaku esok hari’.”
Al-Abbas bin Abdul Muththalib berkata, “Aku membawa pergi Abu Sofyan bin Harb ke tempat istirahatku dan ia menginap di tempatku”
Esok paginya, aku membawa Abu Sofyan bin Harb ke tempat Rasulullah. Ketika beliau melihat Abu Sofyan bin Harb, beliau bersabda, ‘Celakalah engkau wahai Abu Sofyan, apakah belum tiba waktu bagimu untuk mengetahui bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah?’
Abu Sofyan bin Harb berkata, “Ayah-ibuku menjadi tebusan bagimu, engkau amat lembut, mulia, dan penyambung hubungan kekera-batan. Demi Allah, sungguh aku telah meyakini seandainya ada Tuhan lain selain Allah, maka Tuhan tersebut pasti mencukupiku dengan sesuatu”.
Rasulullah bersabda, “Celakalah engkau hai Abu Sofyan, apakah belum tiba bagimu untuk mengetahui bahwa aku adalah utusan Allah?”
Abu Sofyan bin Harb berkata, “Ayah-ibuku menjadi tebusan bagimu, engkau amat lembut, mulia, dan penyambung kekerabatan. Adapun hal ini, demi Allah, di hatiku masih terdapat ganjalan hingga sekarang ini”.
Al-Abbas bin Abdul Muththalib berkata kepada Abu Sofyan bin Harb, “Celakalah engkau, hai Abu Sofyan, masuk Islamlah. Bersaksilah bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah sebelum engkau dipenggal lehermu”.
Abu Sofyan bin Harb pun bersaksi dengan syahadat yang benar dan masuk Islam.
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, Abu Sofyan bin Harb adalah orang yang senang dengan kebanggaan, oleh karena itu, berikan sesuatu kepadanya”.
Rasulullah bersabda, “Ya, barangsiapa memasuki rumah Abu Sofyan bin Harb, ia aman. Barangsiapa menutup pintu rumah-nya, ia aman. Dan barangsiapa memasuki Masjidil Haram, ia aman.”
KEKUATAN PASUKAN KAUM MUSLIMIN YANG DISAKSIKAN ABU SUFYAN
“Ketika Abu Sofyan bin Harb telah pergi, Rasulullah bersabda, ‘Hai Al-Abbas, tahan Abu Sofyan bin Harb di tempat sempit di depan gunung, agar pasukan Allah melewatinya dan ia melihat mereka”.
Aku segera keluar dan menahan Abu Sofyan bin Harb di tempat yang diperintahkan Rasulullah. Tidak lama kemudian, berbagai kabilah berjalan melewatinya dengan membawa bendera masing-masing. Setiap satu kabilah lewat, Abu Sofyan bin Harb berkata, ‘Hai Al-Abbas, siapa ini?’.
Aku berkata, “Ini kabilah Sulaim”.
Abu Sofyan bin Harb berkata, “Apa urusanku dengan kabilah Sulaim”.
Kabilah lain lewat, kemudian Abu Sofyan bin Harb berkata, “Hai Al-Abbas, ini siapa?”.
Aku berkata, “Ini kabilah Muzainah”.
Abu Sofyan bin Harb berkata, “Apa urusanku dengan kabilah Muzainah”.
Setiap kali kabilah lewat, Abu Sofyan bertanya kepadaku tentang kabilah tersebut dan ketika aku telah menjelaskan kabilah tersebut kepadanya, ia berkata, “Apa urusanku dengannya”. Itulah hingga akhirnya Rasulullah lewat dengan pasukannya yang berwarna hijau
Setelah agak jauh dari pasukan, Abu Sufyan melihat segerombolan pasukan besar. Dia lantas bertanya, “Subhanallah, wahai Abbas, siapakah mereka ini?”
Abbas menjawab: “Itu adalah Rasulullah bersama muhajirin dan anshar.”
Abu Sufyan bergumam, “Tidak seorang-pun yang sanggup dan kuat menghadapi mereka.”
Abbas berkata: “Wahai Abu Sufyan, itu adalah Nubuwwah.”
Bendera Anshar dipegang oleh Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu. Ketika melewati tempat Abbas dan Abu Sufyan, Sa’ad berkata,
“Hari ini adalah hari pembantaian. Hari dihalalkannya tanah al haram. Hari ini Allah menghinakan Quraisy.”
Ketika ketemu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, perkataan Sa’ad ini disampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Beliau pun menjawab,
“Sa’ad keliru, justru hari ini adalah hari diagungkannya Ka’bah dan dimuliakannya Quraisy oleh Allah.”
Kemudian, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan agar bendera di tangan Sa’d diambil dan diserahkan kepada anaknya, Qois. Akan tetapi, ternyata bendera itu tetap di tangan Sa’d. Ada yang mengatakan bendera tersebut diserahkan ke Zubair dan ditancapkan di daerah Hajun.
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam melanjutkan perjalanan hingga memasuki Dzi Thuwa. Di sana Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menundukkan kepalanya hingga ujung jenggot beliau yang mulia hampir menyentuh pelana. Hal ini sebagai bentuk tawadlu’ beliau kepada Sang Pengatur alam semesta.
Di sini pula, beliau membagi pasukan. Khalid bin Walid ditempatkan di sayap kanan untuk memasuki Makkah dari dataran rendah dan menunggu kedatangan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam di Shafa. Sementara Zubair bin Awwam memimpin pasukan sayap kiri, membawa bendera Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan memasuki Makkah melalui dataran tingginya. Beliau perintahkan agar menancapkan bendera di daerah Hajun dan tidak meninggalkan tempat tersebut hingga beliau datang.
Di dekat kuburan Abu Tholib dan Khodijah yang terletak di punggung Mekah, kaum muslimin membuat kubah untuk Nabi. Dari kubah inilah Nabi mengamati dengan cermat arus pasukan Islam yang masuk ke kota dari empat penjuru.
RASULULLAH MEMASUKI KOTA MAKKAH
old-makkah Kemudian, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memasuki kota Makkah dengan tetap menundukkan kepala sambil membaca firman Allah:
“Sesungguhnya kami memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.” (Qs. Al Fath: 1)
Beliau mengumumkan kepada penduduk Makkah,
“Siapa yang masuk masjid maka dia aman, siapa yang masuk rumah Abu Sufyan maka dia aman, siapa yang masuk rumahnya dan menutup pintunya maka dia aman.”
Beliau terus berjalan hingga sampai di Masjidil Haram. Beliau thawaf dengan menunggang onta sambil membawa busur yang beliau gunakan untuk menggulingkan berhala-berhala di sekeliling Ka’bah yang beliau lewati. Saat itu, beliau membaca firman Allah:
“Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (Qs. Al-Isra’: 81)
“Kebenaran telah datang dan yang batil itu tidak akan memulai dan tidak (pula) akan mengulangi.” (Qs. Saba’: 49)
Kemudian, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memasuki Ka’bah. Beliau melihat ada gambar Ibrahim bersama Ismail yang sedang berbagi anak panah ramalan.
Beliau bersabda, “Semoga Allah membinasakan mereka. Demi Allah, sekali-pun Ibrahim tidak pernah mengundi dengan anak panah ini.”
Kemudian, beliau perintahkan untuk menghapus semua gambar yang ada di dalam Ka’bah. Kemudian, beliau shalat. Seusai shalat beliau mengitari dinding bagian dalam Ka’bah dan bertakbir di bagian pojok-pojok Ka’bah. Sementara orang-orang Quraisy berkerumun di dalam masjid, menunggu keputusan beliau shallallahu ‘alahi wa sallam.
Orang-orang Quraisy yang berada di Makkah menunggu bibir Muhammad berucap tentang mereka, apakah yang akan terjadi pada mereka, namun bibir itu begitu mulia untuk menjatuhkan hukuman, ia memberikan pengampunan kepada mereka yang telah memeranginya
Dengan memegangi pinggiran pintu Ka’bah, beliau bersabda:
“Wahai orang Quraisy, sesungguhnya Allah telah menghilangkan kesombongan jahiliyah dan pengagungan terhadap nenek moyang. Manusia dari Adam dan Adam dari tanah.”
“Wahai orang Quraisy, apa yang kalian bayangankan tentang apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?” Merekapun menjawab, “Yang baik-baik, sebagai saudara yang mulia, anak dari saudara yang mulia.”
“Aku sampaikan kepada kalian sebagaimana perkataan Yusuf kepada saudaranya: ‘Pada hari ini tidak ada cercaan atas kalian. Allah mengampuni kalian. Dia Maha penyayang.’ Pergilah kalian! Sesungguhnya kalian telah bebas!”
HARI KEDUA FATHU MAKKAH
Pada hari kedua, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berkhutbah di hadapan manusia. Setelah membaca tahmid beliau bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan Makkah. Maka tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menumpahkan darah dan mematahkan batang pohon di sana. Jika ada orang yang beralasan dengan perang yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, maka jawablah: “Sesungguhnya Allah mengizinkan RasulNya shallallahu ‘alahi wa sallam dan tidak mengizinkan kalian. Allah hanya mengizinkan untukku beberapa saat di siang hari. Hari ini Keharaman Makkah telah kembali sebagaimana keharamannya sebelumnya. Maka hendaknya orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.”
Orang orang Quraisy berdesak-desakkan di bukit Shafa untuk memberikan Baiat.
PENGAJARAN RASULULLAH SAW
Rasulullah SAW tinggal selama 20 hari di Makkah untuk memberikan pengajaran Islam kepada masyarakat. Beliau juga mengutus pasukan ke berbagai daerah sekitar Makkah untuk menghancurkan berhala-berhala yang selama ratusan tahun disembah oleh suku-suku Arab.
Dahulu saat pertama kali berdakwah di bukti Shafa, beliau dicaci maki dan dilempari kerikil. Kini seluruh penduduk Makkah menghadiri dakwah beliau dengan mata yang melihat, telinga yang mendengar, dan hati yang menerima. Kini beliau dengan lantang mencabut paganisme dan budaya jahiliyah sampai ke akar-akarnya. Di hari penaklukan Makkah, beliau berkhutbah:
“Wahai manusia! Sesungguhnya Allah telah melenyapkan fanatisme jahiliyah dan kebanggaan dengan nenek moyang dari diri kalian. Manusia hanya ada dua; orang mukmin lagi bertakwa yang mulia di sisi Allah, dan orang durjana yang celaka lagi hina di sisi Allah. Semua manusia keturunan Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah. Allah berfirman,
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat (49): 13)
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam diizinkan Allah untuk berperang di Makkah hanya pada hari penaklukan kota Makkah dari sejak terbit matahari hingga ashar. Beliau tinggal di Makkah selama sembilan hari dengan selalu mengqashar shalat dan tidak berpuasa Ramadhan di sisa hari bulan Ramadhan.
Sejak saat itulah, Makkah menjadi negeri Islam, sehingga tidak ada lagi hijrah dari Makkah menuju Madinah.
Demikianlah kemenangan yang sangat nyata bagi kaum muslimin. Telah sempurna pertolongan Allah. Suku-suku arab berbondong-bondong masuk Islam. Demikianlah karunia besar yang Allah berikan.
Posting Komentar