Sejarah Islam Masa Bani Abbasiyah

Minggu, 24 Juni 2012 01.46 by Gilang Bayou
SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM MASA BANI ABBASIYAH
Di kala umat manusia dalam kegelapan dan kehilangan pegangan hidupnya, lahirlah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib. Ketika menginjak usia 40 tahun, Nabi Muhammad SAW lebih  banyak bertahannuts, yang pada malam 17 Ramadhan / 06 Agustus  610  M  di  Gua  Hiro,  datanglah  malaikat  Jibril  dengan  membawa  wahyu pertama, yaitu  surat Al-‘Alaq ayat 1-5. dengan wahyu tersebut beliau telah menjadi rasul pilihan Allah yang bertugas menyampaikan perintah Allah kepada segenap umat manusia. Semasa kerasulannya, beliau banyak membawa pengikut kepada ajaran Allah. Hingga  peradaban  Islam  pun  tertanam  pada  hat segenap  umatnya  dan  dalam lingkungannya.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, kekhalifahan dipegang oleh Khulafaur- Rasyidin.  Banyak upaya yang dilakukan pada masa-masa tersebut hingga pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Dengan meninggalnya Khalifah Ali bin Abi Thalib, maka bentuk pemerintahan      kekhalifahan    telah berakhir.
Berubahnya     bentuk pemerintahan dari khalifah ke dinasti (kerajaan) tidak membuat ajaran Islam berubah pula,  melainkan   peradabannya  mengalami  perkembangan  yang  pesat.  Kemudian dilanjutkan dengan bentuk pemerintahan dinasti (kerajaan), yaitu dinasti Bani Umayyah dan dinasti Bani Abbasiyah.
Dalam Makalah Ini Akan Disinggung Sejarah Peradaban Islam Pada Masa Bani Abbasiyah Yang Secara Terperinci Yang Akan Di Paparkan Dalam Pembahasan Sebaga Berikut
A.        Awal Berdirinya Bani Abbasiyah
            Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah adalah melanjutkan kekuasaan Dinasti Bani Umayyah yang berpusat di Baghdad. Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa Dinasti ini adalah keturunan Abbas, paman nabi Muhammad  SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbass[1]. Dia dilahirkan di Humaimah pada tahun 104 H. Dia dilantik menjadi Khalifah pada tanggal 3  Rabiul awwal 132 H, Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah berlangsung dari tahun 750-1258 M[2], pendirian dinasti ini sebagai bentuk reaksi terhadap khalifah Bani Umayyah yang mengalami kemerosotan di mata rakyat[3].
Pada abad  ketujuh  terjadi  pemberontakan  diseluruh  negeri.  Pemberontakan  yang paling  dahsyat dan merupakan puncak dari segala pemberontakan yakni perang antara pasukan Abbul Abbas melawan pasukan Marwan ibn Muhammad (Dinasti Bani Umayyah). Yang akhirnya  dimenangkan oleh pasukan Abbul Abbas. Dengan jatuhnya negeri Syiria, berakhirlah riwayat Dinasti Bani Umayyah dan bersama dengan itu bangkitlah kekuasaan Abbasiyah.
Dari sini dapat diketahui bahwa bangkitnya Daulah Abbasiyah bukan saja pergantian Dinasti akan tetapi lebih dari itu adalah penggantian struktur sosial dan ideologi. Sehingga dapat dikatakan kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah merupakan suatu  revolusi.
Menurut Crane Brinton dalam Mudzhar (1998:84), ada 4 ciri yang menjadi identitas revolusi yaitu :
a.       Bahwa pada masa sebelum revolusi ideologi yang berkuasa mendapat kritik keras dari masyarakat  disebabkan  kekecewaan  penderitaan  masyarakat  yang  di  sebabkan ketimpangan-ketimpangan dari ideologi yang berkuasa itu.
b.      Mekanisme pemerintahannya tidak efesien karena kelalaiannya menyesuaikan lembaga-lembaga  sosial  yang  ada  dengan  perkembangan  keadaan  dan  tuntutan zaman.
c.       Terjadinya penyeberangan kaum intelektual dari mendukung ideologi yang berkuasa pada wawasan baru yang ditawarkan oleh para kritikus.
d.      Revolusi itu pada umumnya bukan hanya di pelopori dan digerakkan oleh orang-orang lemah dan kaum bawahan, melainkan dilakukan oleh para penguasa oleh karena hal- hal tertentu yang merasa tidak puas dengan syistem yang  ada .
Sebelum  daulah  Bani  Abbasiyah  berdiri,  terdapat  3  tempat  yang  menjadi  pusat kegiatan  kelompok Bani Abbas, antara satu dengan yang lain mempunyai kedudukan tersendiri  dalam memainkan peranannya untuk menegakkan kekuasaan keluarga besar paman nabi SAW yaitu Abbas Abdul Mutholib (dari namanya Dinasti itu disandarkan). Tiga tempat itu adalah Humaimah, Kufah dan Khurasan.
Humaimah merupakan kota kecil tempat keluarga Bani Hasyim bermukim, baik dari kalanga pendukung Ali maupun     pendukung      keluarga Abbas. Humaimah terletak berdekatan dengan Damsyik. Kufah merupakan kota yang penduduknya menganut aliran Syi‘ah  pendukung  Ali  bin  Abi  Tholib.  Ia  bermusuhan  secara  terang-terangan  dengan golongan  Bani  Umayyah.  Demikian  pula  dengan  Khurasan,  kota  yang  penduduknya mendukung Bani Hasyim. Ia mempunyai warga  yang bertemperamen pemberani, kuat fisiknya,  tegap tinggi, teguh pendirian tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak mudah bingung  dengan  kepercayaan  yang  menyimpang.  Disinilah  diharapkan  dakwah  kaum Abbassiyah mendapatkan dukungan[4].
B.     Perkembangan Pemerintahan dan Politik
Masa pemerintahan dua khalifah yang pertama Abu al-Abbas al-Asaffah dan saudaranya Abu Ja,far al-Mansur, merupakan masa pembentukan dan konsolidasi orientasi pemerintahan, di antara kedua khalifah ini yang paling gigih dalam membina pemerintahan adalah Abu Ja,far al-Mansur, untuk mendapatkan posisi dinasti Ia menghadapi lawan-lawannya dengan keras seperti bani Umayyah, Khawarij, dan syiah,ia menyingkirkan tokoh-tokoh yang menjadi lawan politiknya[5].
Untuk mengokohkan posisi dinastinya al-Mansur mula menyusun strategi yang berbeda dengan dinasti Bani Umayyah yang bercorak ke araban, ia mengambil hubungan dengan Persia dan melengkapi struktur pemeritahan, pertma memindahkn ibukota dari Damaskus ke Bagdad dekat ibukota Persia kedua tentara pengawal tidak lagi dari orang arab melainkan dari Persia, ketiga dala administrasi pemerintahan Persia al-Mansur mengangkat wazir atau mentri yang membawahai kepala departemen-departemen.[6] Dan penarikan kembali daerah-daerah yang sebelumnya melepaskan diri pemerintah pusat serta membentengai daerahdaerah perbatasan.
Dalam menjalankan pemerintahan, Khalifah Bani Abbasiyah pada waktu itu dibantu oleh  seorang  wazir  (perdana  mentri)  atau  yang  jabatanya  disebut  dengan wizaraat Sedangkan wizaraaitu dibagi lagi    menjadi 2 yaitu: 1) Wizaraat Tanfiz (sistem pemerintahan presidentil ) yaitu wazir hanya sebagai pembantu Khalifah dan bekerja atas nama Khalifah. 2) Wizaaratut Tafwidl (parlemen kabimet). Wazirnya berkuasa penuh untuk memimpin pemerintahan . Sedangkan Khalifah sebagai lambang saja . Pada kasus lainnya fungsi  Khalifah  sebagai pengukuh  Dinasti-Dinasti  lokal  sebagai  gubernurnya  Khalifah [7]
Selain itu, untuk membantu Khalifah dalam menjalankan tata usaha negara diadakan sebuah  dewan yang bernama diwanul kitaaba(sekretariat negara) yang dipimpin oleh seorang raisul  kuttab (sekretaris negara). Dan dalam menjalankan pemerintahan negara, wazir dibantu beberapa raisul diwan (menteri departemen-departemen). Tata usaha negara bersifat sentralistik yang dinamakan an-nidhamul idary al-markazy.
Dalam zaman daulah Abbassiyah juga didirikan angkatan perang, amirul umara, baitul maal,    organisasi            kehakiman,      Selama Dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan  yang  diterapkan  berbeda-beda  sesuai  dengan  perubahan  politik,  sosial, ekonomi dan budaya, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda- beda  sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik yang dijalankan oleh Daulah Bani Abbasiyah I antara lain :
a.       Para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima, Gubernur dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan mawali.
b.      Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi sosial dan kebudayaan.
c.       Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia .
d.      Kebebasan berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya .
e.       Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya dalam pemerintah[8]
Berdasarkan perubahan tersebut, para sejarawan membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi 3 periode, yaitu :
1.  Periode Pertama (750-847 M)
Pada periode ini, seluruh kerajaan Islam berada di dibawah kekuasaan para Khalifah kecuali di Andalusia. Adapun para Khalifah yang memimpin pada ini sebagai berikut :
a. Abul Abbas as-saffah (750-754 M)
b. Abu Ja’far  al mansyur (754 – 775 M)
c.  Abu Abdullah M. Al-Mahdi bin Al Mansyur (775-785 M)
d. Abu Musa Al-Hadi (785—786 M)
e.  Abu Ja’far Harun Ar-Rasyid (786-809 M)
f.  Abu Musa Muh. Al Amin (809-813 M)
g. Abu Ja’far Abdullah Al Ma’mun (813-833 M)
h. Abu Ishak M. Al Muta’shim (833-842 M)
i.    Abu Ja’far Harun Al Watsiq (842-847 M)
j.    Abul Fadhl Ja’far Al Mutawakkil (847-861)[9]
2.  Periode kedua (232 H/847 M - 590 H/1194 M)
Pada     periode            ini, kekuasaan bergeser dari system sentralistik pada sistem desentralisasi, yaitu ke dalam tiga negara otonom :
a. Kaum Turki (232-590 H)
b. Golongan Kaum Bani Buwaih (334-447 H)
c.  Golongan Bani Saljuq (447-590 H)
Dinasti-Dinasti di atas pada akhirnya melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa Khalifah Abbassiyah.
3.  Periode ketiga (590 H/1194 M - 656 H/1258 M)
Pada  periode  ini,  kekuasaan  berada  kembali  ditangan  Khalifah,  tetapi  hanya  di baghdad dan kawasan-kawasan sekitarnya. Sedangkan para ahli kebudayaan Islam membagi masa kebudayaan Islam di zaman daulah Abbasiyah kepada 4 masa, yaitu :
1. Masa Abbasy I, yaitu semenjak lahirnya Daulah Bani Abbasiyah tahun 750 M, sampai meninggalnya Khalifah al-Wasiq (847 M).
2. Masa Abbasy II, yaitu mulai Khalifah al-Mutawakkal (847 M), sampai berdirinya daulah Buwaihiyah di Baghdad (946 M).
3. Masa Abbasy III, yaitu dari berdirinya daulah Buwaihiyah tahun (946 M) sampai masuk kaum Seljuk ke Baghdad (1055 M).
4. Masa Abbasy IV, yaitu masuknya orang-orang Seljuk ke Baghdad (1055 M), sampai jatuhnya Baghdad ke tangan Tartar di bawah pimpinan Hulako (1268 M).
Dalam versi yang lain yang, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi lima periode :
1.  Periode pertama (750–847 M)
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya. Secara politis, para Khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik  dan  agama  sekaligus.  Di  sisi  lain,  kemakmuran  masyarakat  mencapai  tingkat tertinggi. Periode ini  juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri Dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750 M sampai 754 M. Karena itu, pembina sebenarnya dari Daulah Abbasiyah adalah Abu Ja’far al-Mansur (754–775  M). Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu,  al-Mansur  memindahkan  ibu  kota  negara  ke  kota  yang  baru  dibangunnya,  yaitu Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M.  Dengan demikian, pusat pemerintahan Dinasti bani Abbasiyah berada ditengah-tengah bangsa Persia.
Di  ibu kota  yang  baru  ini  al-Mansur  melakukan  konsolidasi  dan  penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal  untuk  menduduki  jabatan  di lembaga  eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan dia menciptakan tradisi baru dengan  mengangkat wazir sebagai coordinator departemen. Jabatan wazir yang menggabungkan sebagian fungsi perdana menteri dengan menteri dalam negeri itu selama lebih dari 50 tahun berada di tangan keluarga terpandang berasal dari Balkh, Persia (Iran). Wazir yang  pertama adalah Khalid bin Barmak, kemudian digantikan oleh anaknya, Yahya bin Khalid. Yang  terakhir ini kemudian mengangkat anaknya, Ja’far bin Yahya, menjadi wazir muda. Sedangkan anaknya yang lain, Fadl bin Yahya, menjadi Gubernur Persia Barat dan kemudian Khurasan. Pada  masa tersebut persoalan-persoalan administrasi negara lebih banyak ditangani keluarga Persia  itu. Masuknya keluaraga non Arab ini ke dalam pemerintahan merupakan unsur pembeda antara Daulah Abbasiyah dan Daulah Umayyah yang berorientasi ke Arab.
Khalifah al-Mansur juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn Abd  al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa Dinasti Bani Umayyah ditingkatkan  peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar  untuk mengantar surat, pada masa al-Mansur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluru informasi di daerah-daerah sehingga administrasi  kenegaraan  dapat  berjalan  lancar.  Para  direktur  jawatan  pos  bertugas melaporkan tingkah laku Gubernur setempat kepada Khalifah.
Khalifah al-Mansur juga berusaha menaklukan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintahan pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama genjatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan.
Pada masa al-Mansur pengertian Khalifah kembali berubah. Konsep khilafah dalam pandangannya dan  berlanjut  ke  generasi  sesudahnya merupakan  mandat  dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut nabi sebagaimana pada masa al Khulafa’ al-Rasyidin.
Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman Khalifah Harun al- Rasyid   (786-809  M)  dan  putranya  al-Ma’mun  (813-833  M).  Kekayaan  yang  banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan farmasi  didirikan. Tingkat kemakmuran paling tinggi terwujud pada zaman Khalifah ini.
Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan  serta  kesastraan  berada  pada  zaman  keemasannya.  Pada  masa  inilah negara  Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi[10].
Dengan demikian telah terlihat bahwa pada masa  Khalifah Harun al-Rasyid lebih  menekankan  pembinaan  peradaban  dan  kebudayaan  Islam  dari  pada  perluasan wilayah  yang   memang  sudah  luas.  Orientasi  kepada  pembangunan  peradaban  dan kebudayaan ini menjadi unsur pembanding lainnya antara Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah.
Al-Makmun, pengganti al-Rasyid dikenal sebagai Khalifah yang sangat cinta kepada ilmu.  Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Ia juga mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat        penerjemahan  yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa al-Makmun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Muktasim, Khalifah berikutnya (833-842 M) memberi peluang besar kepada orang- orang  Turki  untuk  masuk  dalam  pemerintahan.  Demikian  ini  di  latar  belakangi  oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia pada masa al-Ma’mun dan sebelumnya. Keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa  Daulah Umayyah, Dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek  orang-orang  Muslim  mengikuti  perang  sudah  terhenti.  Tentara  dibina  secara khusus menjadi  prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer Dinasti Bani Abbasiyah menjadi sangat kuat.
Dalam periode ini, sebenarnya banyak gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik  dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan   sisa-sisa  Dinasti  Umayyah  dan  kalangan  intern  Bani  Abbas  dan  lain-lain semuanya dapat dipadamkan. Dalam kondisi seperti itu para Khalifah mempunyai prinsip kuat  sebagai  pusat  politik  dan  agama  sekaligus.  Apabila  tidak,  seperti  pada  periode sesudahnya, stabilitas tidak  lagi dapat dikontrol, bahkan para Khalifah sendiri berada dibawah pengaruh kekuasaan yang lain.
2.  Periode kedua (847-945 M)
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan   cenderung  mencolok.  Kehidupan  mewah  para  Khalifah  ini  ditiru  oleh  para hartawan dan anak-anak pejabat. Demikian    ini menyebabkan roda      pemerintahan terganggu dan rakyat  menjadi  miskin.  Kondisi  ini  memberi  peluang kepada tentara profesional asal Turki yang semula diangkat oleh Khalifah al-Mu’tasim untuk mengambil alih  kendali pemerintahan. Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya berada di tangan mereka, sementara kekuasaan Bani Abbas di dalam Khilafah Abbasiyah yang didirikannya  mulai pudar, dan ini merupakan awal dari keruntuhan Dinasti ini, meskipun setelah itu usianya masih dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun.
Khalifah Mutawakkil   (847-861 M) yang merupakan awal dari periode ini adalah seorang  Khalifah  yang  lemah.  Pada  masa  pemerintahannya  orang-orang  Turki  dapat merebut kekuasaan dengan cepat. Setelah Khalifah al-Mutawakkil wafat, merekalah yang memilih  dan  mengangkat  Khalifah.  Dengan  demikian  kekuasaan  tidak  lagi  berada  di tangan Bani Abbas, meskipun mereka tetap memegang jabatan Khalifah. Sebenarnya ada usaha untuk melepaskan diri dari para perwira Turki itu, tetapi selalu gagal. Dari dua belas Khalifah pada periode kedua ini, hanya empat orang yang wafat dengan wajar, selebihnya kalau bukan dibunuh, mereka diturunkan dari tahtanya dengan paksa. Wibawa Khalifah merosot tajam. Setelah tentara Turki lemah dengan sendirinya, di daerah-daerah muncul tokoh-tokoh kuat yang kemudian  memerdekakan diri dari kekuasaan pusat, mendirikan Dinasti-Dinasti kecil. Inilah permulaan masa disintregasi dalam sejarah politik Islam.
Adapun  faktor-faktor  penting  yang  menyebabkan  kemunduran  Bani  Abbas  pada periode ini adalah sebagai berikut:
a.              Luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah yang harus dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah. Dengan profesionalisasi tentara, ketergantungan kepada mereka menjadi sangat tinggi.
b.             Kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah Khalifah
c.              merosot, Khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
3.  Periode ketiga (945 -1055 M)
Pada  periode  ini,  Daulah  Abbasiyah  berada  di  bawah  kekuasaan  Bani  Buwaih. Keadaan Khalifah lebih buruk dari sebelumnya, terutama karena Bani Buwaih adalah penganut aliran Syi’ah. Khalifah tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Bani Buwaih membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara : Ali untuk wilayah bagian selatan negeri  Persia, Hasan untuk wilayah bagian utara, dan Ahmad untuk wilayah Al- Ahwaz,  Wasit  dan  Baghdad.  Dengan  demikian  Baghdad  pada  periode  ini  tidak  lagi merupakan pusat pemerintahn Islam karena telah pindah ke Syiraz di masa berkuasa Ali bin Buwaih yang memiliki kekuasaan Bani Buwaih.
Meskipun  demikian,  dalam  bidang  ilmu  pengetahuan  Daulah  Abbasiyah  terus mengalami kemajuan pada periode ini. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir besar seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu Maskawaih, dan kelompok studi Ikhwan as- Safa. Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan. Kemajuan ini juga diikuti dengan pembangunan masjid dan rumah sakit.
Pada masa Bani Buwaih berkuasa di Baghdad, telah terjadi beberapa kali kerusuhan aliran antara Ahlussunnah dan Syi’ah, pemberontakan tentara dan sebagainya.
4.  Periode keempat (1055-1199 M)
Periode ini ditandai dengan kekuasaan Bani Seljuk atas Daulah Abbasiyah. Kehadiran Bani  Seljuk  ini  adalah  atas  undangan  Khalifah  untuk  melumpuhkan  kekuatan  Bani Buwaih di Baghdad.      Keadaan Khalifah memang membaik, paling tidak          karena kewibawaannya dalam bidang agama kembali setelah beberapa lama dikuasai oleh orang- orang Syi’ah.
Sebagaimana pada periode sebelumnya, ilmu pengetahuan juga berkembang pada periode  ini.  Nizam  al-Mulk, perdana menteri pada  masa Alp Arselan  dan Malikhsyah, mendirikan Madrasah Nizamiyah (1067 M) dan madrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabang- cabang  Madrasah  Nizamiyah  didirikan  hampir  di  setiap  kota  di  Irak  dan  Khurasan. Madrasah ini menjadi  model  bagi perguruan tinggi dikemudian hari. Dari madrasah ini telah lahir banyak cendekiawan dalam berbagai disiplin ilmu. Di antara para cendekiawan Islam yang dilahirkan dan berkembang  pada periode ini adalah al-Zamakhsari, penulis dalam bidang Tafsir dan Ushul al-Din (teologi), Al-Qusyairi dalam bidang  tafsir, al-Ghazali dalam  bidang  ilmu  kalam  dan  tasawwuf,  dan   Umar   Khayyam  dalam  bidang  ilmu perbintangan.
Dalam bidang politik, pusat kekuasaan juga tidak terletak di kota Baghdad. Mereka membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa propinsi dengan seorang Gubernur untuk mengepalai  masing-masing  propinsi  tersebut.  Pada  masa  pusat  kekuasaan  melemah, masing-masing propinsi tersebut memerdekakan diri. Konflik-konflik dan peperangan yang terjadi di antara mereka melemahkan mereka sendiri, dan sedikit demi sedikit kekuasaan politik Khalifah menguat kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka tersebut berakhir di Irak di tangan Khawarizm Syah pada tahun 590 H/ 1199 M.
5.  Periode kelima (1199-1258 M)
Berakhirnya  kekuasaan  Dinasti  Seljuk  atas  Baghdad  atau  khilafah  Abbasiyah merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, khilafah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan Dinasti tertentu, walaupun  banyak sekali Dinasti Islam berdiri. Ada di antaranya yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah Dinasti kecil. Para Khalifah Abbasiyah sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan  Khalifah yang sempit ini menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol  dan Tartar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancur luluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan.
Sebagaimana  terlihat  dalam  periodisasi  khilafah  Abbasiyah,  masa  kemunduran dimulai  sejak periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran ini tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya  sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena Khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila Khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika Khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
C.    Kemajuan Dan Kejayaan Dinasti Bani Abasiyah
Kemajuan peradaban bani abbasiyah baru tercapai ketika masa khalifah harun al-rasid, kemajuan ini dipicu atas kebijakan-kebijakan yang baik dari khalifah[11]. Secara umum kemajuan dan kejayaan bani abbasiyah ditinjau dari berbagai bidang:
a.      Bidang Intelektual/keilmuan
Perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi mencapai puncak kejayaan pada
masa pemerintahhan Harun ar-Rasyid , kemajuan intelektual pada waktu itu setidaknya
dipengaruhi oleh dua hal yaitu:
1. Terjadinya Asimilasi antara bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu
mengalami perkembangan dalam ilmu pengetahuan. Pengaruh Persia pada saat itu sangat penting dibidang pemerintahan. selain itu mereka banyak berjasa dalam perkembangan ilmu filsafat dan sastra. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemah-terjemah dalam banyak bidang ilmu, terutama Filsafat.
2. Gerakan TerjemahPada masa daulah ini usaha penerjemahan kitab-kitab asing dilakukan dengan giat sekali. Pelopor gerakan terjemah ini adalah khalifah al-mansyur sedangkan penerjemahan secara langsung dari bahasa yunani ke bahasa arab dipelopori oleh hunayn ibn ishaq[12]. Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dari gerakan ini muncullah tokoh-tokoh Islam dalam ilmu pengetahuan, antara lain ;
                                                              i.      Bidang filsafat: al-Kindi, Ibnu Bajah, Ibnu Tufail, Ibnu Sina, al- Ghazali,Ibnu Rusyid.
                                                            ii.      Bidang kedokteran: Jabir ibnu Hayan , Hunain bin Ishaq, Tabib bin Qurra ,Ar-Razi.
                                                          iii.      Bidang Matematika: Umar al-Farukhan , al-Khawarizmi.
                                                          iv.      Bidang astronomi:  al-Fazari, al-Battani, Abul watak, al-Farghoni dan sebagainya.
Dari hasil ijtihad dan semangat riset, maka para ahli pengetahuan, para alim ulama,
berhasil menemukan berbagai keahlian berupa penemuan berbagai bidang-bidang ilmu
pengetahuan, antara lain :
1. Ilmu Umum
a.Ilmu Filsafat
1) Al-Kindi (809-873 M) buku karangannya sebanyak 236 judul.
2) Al Farabi (wafat tahun 916 M) dalam usia 80 tahun.
3) Ibnu Bajah (wafat tahun 523 H)
4) Ibnu Thufail (wafat tahun 581 H)
5) Ibnu Shina (980-1037 M). Karangan-karangan yang terkenal antara lain: Shafa,Najat, Qoman, Saddiya dan lain-lain
6) Al Ghazali (1085-1101 M). Dikenal sebagai Hujjatul Islam, karangannya: Al-Munqizh Minadl-Dlalal,Tahafutul Falasifah,Mizanul Amal,Ihya Ulumuddin dan lain-lain.
7) Ibnu Rusd (1126-1198 M). Karangannya : Kulliyaat, Tafsir Urjuza, Kasful Afillah
dan lain-lain
b. Bidang Kedokteran
1)   Jabir bin Hayyan (wafat 778 M). Dikenal sebagai bapak Kimia.
2) Hurain bin Ishaq (810-878 M). Ahli mata yang terkenal disamping sebagai       penterjemah bahasa asing.
3)  Thabib bin Qurra (836-901 M)
4) Ar Razi atau Razes (809-873 M). Karangan yang terkenal mengenai cacar dan
campak yang diterjemahkan dalam bahasa latin.
c. Bidang Matematika
1)      Umar Al Farukhan: Insinyur Arsitek Pembangunan kota Baghdad.
2) Al Khawarizmi: Pengarang kitab Al Gebra (Al Jabar), penemu angka (0).
d. Bidang Astronomi
Berkembang subur di kalangan umat Islam, sehingga banyak para ahli yang terkenal
dalam perbintangan ini seperti :
1)      Al Farazi : pencipta Astro lobe
2)      Al Gattani/Al Betagnius
3) Abul wafat : menemukan jalan ketiga dari bulan
4) Al Farghoni atau Al Fragenius
e. Bidang Seni Ukir
Beberapa seniman ukir terkenal: Badr dan Tariff (961-976 M) dan ada seni musik, seni tari, seni pahat, seni sulam, seni lukis dan seni bangunan.
2. Ilmu Naqli
a.       Ilmu Tafsir
Para mufassirin yang termasyur: Ibnu Jarir ath Tabary, Ibnu Athiyah al
Andalusy (wafat 147 H), As Suda, Mupatil bin Sulaiman (wafat 150 H), Muhammad binIshak dan lain-lain
b.      Ilmu Hadist
Muncullah ahli-ahli hadist ternama seperti: Imam Bukhori (194-256 H),
Imam Muslim (wafat 231 H), Ibnu Majah (wafat 273 H),Abu Daud (wafat 275 H), At
Tarmidzi, dan lain-lain
c.       Ilmu Kalam
Dalam kenyataannya kaum Mu’tazilah berjasa besar dalam menciptakan
ilmu kalam, diantaranya para pelopor itu adalah: Wasil bin Atha’, Abu Huzail al Allaf, Adh Dhaam, Abu Hasan Asy’ary, Hujjatul Islam Imam Ghazali
d.      Ilmu Tasawuf
Ahli-ahli dan ulama-ulamanya adalah : Al Qusyairy (wafat 465 H).
Karangannya : ar Risalatul Qusyairiyah, Syahabuddin (wafat 632 H). Karangannya : Awariful Ma’arif, Imam Ghazali : Karangannya al Bashut, al Wajiz dan lain-lain.
e.       Para Imam Fuqaha
Lahirlah para Fuqaha yang sampai sekarang aliran mereka masih
mendapat tempat yang luas dalam masyarakat Islam. Yang mengembangkan
faham/mazhabnya dalam zaman ini adalah: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal dan Para Imam Syi’ah[13] (Hasjmy, 1995:276-278).
3. Bidang Fisik
Perkembangan peradaban pada masa daulah Bani Abbasiyah sangat maju pesat, karena upaya dilakukan oleh para Khalifah di bidang fisik. Hal ini dapat kita lihat dari bangunan –bangunan yang berupa:
a.              Kuttab, yaitu tempat belajar dalam tingkatan pendidikan rendah dan menengah.
b.             Majlis Muhadharah,yaitu tempat pertemuan para ulama, sarjana,ahli pikir dan pujangga untuk membahas masalah-masalah ilmiah.
c.              Darul Hikmah, Adalah perpustakaan yang didirikan oleh Harun Ar-Rasyid. Ini merupakan perpustakaan terbesar yang di dalamnya juga disediakan tempat ruanganbelajar.
d.             Madrasah, Perdana menteri Nidhomul Mulk adalah orang yang mula-mula mendirikan sekolah dalam bentuk yang ada sampai sekarang ini, dengan nama Madrasah.
e.              Masjid, Biasanya dipakai untuk pendidikan tinggi dan tahassus.
Pada masa Daulah Bani Abbassiyah, peradaban di bidang fisik seperti kehidupan ekonomi: pertanian, perindustrian, perdagangan berhasil dikembangkan oleh Khalifah Mansyur.
Selain lima hal tersebut, juga terdapat peninggalan-peninggalan yang memperlihatkan kemajuan pesat Bani Abbassiyah.
1. Istana Qarruzzabad di Baghdad
2. Istana di kota Samarra
3. Bangunan-bangunan sekolah
4. Masjid Raya Kordova (786 M)
5. Masjid Ibnu Taulon di Kairo (876 M)
6. Istana Al Hamra di Kordova
7. Istana Al Cazar, dan lain-lain (Ma’ruf,1996:39-40).
4. Bidang Perekonomian
Permulaan masa kepemimpinan Bani Abbassiyah, perbendaharaan negara penuh dan
berlimpah-limpah, uang masuk lebih banyak daripada pengeluaran. Yang menjadi Khalifah
adalah Mansyur. Dia betul-betul telah meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi ekonomi dan
keuangan negara. Dia mencontohkan Khalifah Umar bin Khattab dalam menguatkan Islam.

Dan keberhasilan kehidupan ekonomi maka berhasil pula dalam :
1.         Pertanian, Khalifah membela dan menghormati kaum tani, bahkan meringankan pajak hasil bumi mereka, dan ada beberapa yang dihapuskan sama sekali.
2.         Perindustrian, Khalifah menganjurkan untuk beramai-ramai membangun berbagai
industri, sehingga terkenallah beberapa kota dan industri-industrinya.
3.         Perdagangan, Segala usaha ditempuh untuk memajukan perdagangan seperti:
a) Membangun sumur dan tempat-tempat istirahat di jalan-jalan yang dilewati kafilah dagang.
b) Membangun armada-armada dagang.
c) Membangun armada : untuk melindungi parta-partai negara dari serangan bajak laut.
Usaha-usaha tersebut sangat besar pengaruhnya dalam meningkatkan perdagangan
dalam dan luar negeri. Akibatnya kafilah-kafilah dagang kaum muslimin melintasi segala negeri dan kapal-kapal dagangnya mengarungi tujuh lautan.
5. Bidang Kebudayaan dan Rasionalitas
Sebagaimana diketahui sebelumnya bahwa kebebasan berpikir diakui sepenuhnya sebagai hak asasi setiap manusia oleh Daulah Abbasiyah. Oleh karena itu, pada waktu itu
akal dan pikiran benar-benar dibebaskan dari belenggu taqlid, sehingga orang leluasa
mengeluarkan pendapat. Berawal dari itu, zaman pemerintahan Abbasiyah awal melahirkan 4 Imam Madzhab yang ulung, mereka adalah Syafi’i , Hanafi, Hambali , dan Maliki.
Disamping itu, zaman pemerintahan Abbasiyah awal itu juga melahirkan Ilmu Tafsir al-Quran dan pemisahnya dari Ilmu Hadits. Sebelumnya, belum terdapat penafsiran seluruh al-Quran, yang ada hanyalah Tafsir bagi sebagian ayat dari berbagai surah, yang dibuat untuk tujuan tertentu[14]
Dalam negara Islam di masa Bani Abbassiyah berkembang corak kebudayaan, yang
berasal dari beberapa bangsa. Apa yang terjadi dalam unsur bangsa, terjadi pula dalam
unsur kebudayaan. Dalam masa sekarang ini berkembang empat unsur kebudayaan yang
mempengaruhi kehidupan akal/rasio yaitu Kebudayaan Persia, Kebudayaan Yunani,
Kebudayaan Hindi dan Kebudayaan Arab dan berkembangnya ilmu pengetahuan.
1. Kebudayaan Persia, Pesatnya perkembangan kebudayaan Persia di zaman ini karena 2 faktor, yaitu :
a. Pembentukan lembaga wizarah
b. Pemindahan ibukota
2. Kebudayaan Hindi, Peranan orang India dalam membentuk kebudayaan Islam terjadi dengan dua cara:
a. Secara langsung, Kaum muslimin berhubungan langsung dengan orang-orang India seperti lewat perdagangan dan penaklukan.
b. Secara tak langsung,penyaluran kebudayaan India ke dalam kebudayaan Islam lewat kebudayaan Persia.
3. Kebudayaan Yunani
Sebelum dan sesudah Islam, terkenallah di Timur beberapa kota yang menjadi pusat kehidupan kebudayaan Yunani. Yang paling termasyur diantaranya adalah :
a. Jundaisabur, Terletak di Khuzistan, dibangun oleh Sabur yang dijadikan tempat
pembuangan para tawanan Romawi. Setelah jatuh di bawah kekuasaan Islam.Sekolah-sekolah tinggi kedokteran yang asalnya diajar berbagai ilmu Yunani dan bahasa Persia, diadakan perubahan-perubahan dan pembaharuan.
b. Harran,Kota yang dibangun di utara Iraq yang menjadi pusat pertemuan segala macam kebudayaan. Warga kota Harran merupakan pengembangan kebudayaan Yunani terpenting di zaman Islam, terutama dimasa Daulah Abbassiyah.
c. Iskandariyyah, Ibukota Mesir waktu menjadi jajahan Yunani. Dalam kota Iskandariyyah ini lahir aliran falsafah terbesar yang dikenal “Filsafat Baru Plato” (Neo Platonisme). Dalam masa Bani Abbassiyah hubungan alam pemikiran Neo Platonisme bertambah erat dengan alam pikiran kaum muslimin.
4. Kebudayaan Arab
Masuknya kebudayaan Arab ke dalam kebudayaan Islam terjadi dengan dua jalan utama, yaitu :
a. Jalan Agama, Mengharuskan mempelajari Qur’an, Hadist, Fiqh yang semuanya dalam bahasa Arab.
b. Jalan Bahasa,Jazirah Arabia adalah sumber bahasa Arab, bahasa terkaya diantara rumpun bahasa samy dan tempat lahirnya Islam
D.    Faktok Kemunduran Dan Kehancuran Dinasti Bani Abasiyah
Disamping kelemahan Khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Faktor Internal
1. Persaingan antar Bangsa
Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal Khalifah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi, karena para Khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah al-Mutawakkil, seorang Khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara Turki tidak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Daulah Abbasiyyah sebenarnya sudah berakhir.
2. Kemerosotan Ekonomi
Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit.
Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik Dinasti
Abbasiyah. Kedua faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan

3. Konflik Keagamaan
Konflik yang melatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara Muslim dan
Zindik atau Ahlussunnah dengan Syi’ah saja, tetapi juga antara aliran dalam Islam.

4. Perkembangan Peradaban dan Kebudayaan
Kemajuan besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, yang kemudian ditiru oleh para haratawan dan anak-anak pejabat sehingga menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin.
b. Faktor Eksternal
1. Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak
korban.
2. Serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam.

0 Response to "Sejarah Islam Masa Bani Abbasiyah"

Posting Komentar