Mengungkap Sejarah PKI
Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Benar yang dikatakan para pakar sejarah bahwa konstruksi sejarah sangat ditentukan oleh subjektivitas pembuat narasi suatu sejarah. Fakta sejarah akan tampak berbeda jika ditunggangi suatu kepentingan. Dalam suatu narasi sejarah yang sama, di tangan si A bisa jadi berbeda alur narasinya di tangan si B. dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa subjektivitas narator punya andil cukup besar dalam merekonstruksi suatu sejarah.
Menurut Rex Mortimer, itulah yang dialami komunisme (PKI) di Indonesia. Rex Mortimer, dalam bukunya Indonesian Communism Under Sukarno; Ideologi dan Politik 1959-1965, mengungkapkan bahwa fakta sejarah komunisme di Indonesia telah didistorsi oleh Barat. Alasannya, Barat, yang notabene antikomunisme khawatir jika komunisme diabaikan begitu saja, akan berkembang pesat dan menandingi kekuatan mereka.
Fakta sejarah bahwa komunisme menaruh perhatian besar terhadap para pekerja, buruh pabrik, petani miskin, buruh pabrik, serta kaum-kaum marjinal lainnya telah dinihilkan. Kemudian dibangun dengan menghadirkan sosok komunisme sebagai sebuah momok sekaligus musuh bersama (common enemy).
Akademisi Barat memunculkan tiga stereotipe terhadap komunisme di Indonesia. Stereotipe itu merusak pemahaman tentang peran dan kontribusi politik PKI yang sangat menonjol di era 1950 sampai pertengahan 1960-an. Pertama, jutaan orang Indonesia yang bernaung di bawah bendera PKI hanya bisa mengekspresikan jerit tangis penderitaan yang dialami lantaran menjadi korban perubahan social pasca kemerdekaan.
Kedua, sejak rencana stabilisasi ekonomi pada 1963, kaum komunis sengaja menciptakan kekacauan ekonomi di tahun-tahun akhir era Sukarno guna mengambil alih kekuasaan. Ketiga, akibat kekhawatiran Barat, menyatakan jika Indonesia menjadi negara komunis, ia akan membantu dominasi China dan mengancam stabilitas keamanan negara-negara nonkomunis. Akhirnya ketiga stereotipe itu pun hanya isapan jempol dan tidak terbukti kebenarannya.
Selain itu, Rex Mortimer, dalam karyanya kali ini, mengajak kita meneladani ideologi sekaligus politik yang diaplikasikan oleh PKI. Bagaimana bisa partai pinggiran yang tidak mencolok mampu bermetamorfosis menjadi sebuah partai terdepan dengan cepat. Prokaum marjinal dijadikan patokan utama dalam mengorganisasi massa. Kaum marjinal bukan hanya kelinci politik, namun kesejahteraannya menjadi orientasi utama berpolitik.
PKI juga merangkul orang sekaliber Sukarno untuk mampu merangsek dengan mudah ke parlemen sehingga PKI menjadi partai yang cukup dipertimbangkan dalam kancah nasional kala itu. Nasionalisme pun dijadikan ideologi mereka sehingga tak perlu ditanya lagi seberapa besar cinta PKI terhadap tanah air.
Buku ini mengajak kita untuk menguak sistem politik serta ideologi PKI yang selama ini terdistorsi oleh bangsa Barat sehingga beredar di sekitar kita bahwa PKI merupakan sebuah partai yang menjadi musuh negara. Selain itu, pembaca akan diajak bersama-sama membuka tabir yang selama ini terpendam terkait sejarah PKI.
Peresensi adalah Mansata Indah Dwi Utari, penulis lepas di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Sapen, Gondokusuman, Yogyakarta
Menurut Rex Mortimer, itulah yang dialami komunisme (PKI) di Indonesia. Rex Mortimer, dalam bukunya Indonesian Communism Under Sukarno; Ideologi dan Politik 1959-1965, mengungkapkan bahwa fakta sejarah komunisme di Indonesia telah didistorsi oleh Barat. Alasannya, Barat, yang notabene antikomunisme khawatir jika komunisme diabaikan begitu saja, akan berkembang pesat dan menandingi kekuatan mereka.
Fakta sejarah bahwa komunisme menaruh perhatian besar terhadap para pekerja, buruh pabrik, petani miskin, buruh pabrik, serta kaum-kaum marjinal lainnya telah dinihilkan. Kemudian dibangun dengan menghadirkan sosok komunisme sebagai sebuah momok sekaligus musuh bersama (common enemy).
Akademisi Barat memunculkan tiga stereotipe terhadap komunisme di Indonesia. Stereotipe itu merusak pemahaman tentang peran dan kontribusi politik PKI yang sangat menonjol di era 1950 sampai pertengahan 1960-an. Pertama, jutaan orang Indonesia yang bernaung di bawah bendera PKI hanya bisa mengekspresikan jerit tangis penderitaan yang dialami lantaran menjadi korban perubahan social pasca kemerdekaan.
Kedua, sejak rencana stabilisasi ekonomi pada 1963, kaum komunis sengaja menciptakan kekacauan ekonomi di tahun-tahun akhir era Sukarno guna mengambil alih kekuasaan. Ketiga, akibat kekhawatiran Barat, menyatakan jika Indonesia menjadi negara komunis, ia akan membantu dominasi China dan mengancam stabilitas keamanan negara-negara nonkomunis. Akhirnya ketiga stereotipe itu pun hanya isapan jempol dan tidak terbukti kebenarannya.
Selain itu, Rex Mortimer, dalam karyanya kali ini, mengajak kita meneladani ideologi sekaligus politik yang diaplikasikan oleh PKI. Bagaimana bisa partai pinggiran yang tidak mencolok mampu bermetamorfosis menjadi sebuah partai terdepan dengan cepat. Prokaum marjinal dijadikan patokan utama dalam mengorganisasi massa. Kaum marjinal bukan hanya kelinci politik, namun kesejahteraannya menjadi orientasi utama berpolitik.
PKI juga merangkul orang sekaliber Sukarno untuk mampu merangsek dengan mudah ke parlemen sehingga PKI menjadi partai yang cukup dipertimbangkan dalam kancah nasional kala itu. Nasionalisme pun dijadikan ideologi mereka sehingga tak perlu ditanya lagi seberapa besar cinta PKI terhadap tanah air.
Buku ini mengajak kita untuk menguak sistem politik serta ideologi PKI yang selama ini terdistorsi oleh bangsa Barat sehingga beredar di sekitar kita bahwa PKI merupakan sebuah partai yang menjadi musuh negara. Selain itu, pembaca akan diajak bersama-sama membuka tabir yang selama ini terpendam terkait sejarah PKI.
Peresensi adalah Mansata Indah Dwi Utari, penulis lepas di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Sapen, Gondokusuman, Yogyakarta
Posting Komentar