Humanisme Yang Tidak Humanis!
PERSOALAN kemanusiaan menjadi tema penting yang saat ini hangat dibicarakan oleh banyak kalangan di seluruh dunia. Semua sekat teritorial, ras, gender dan agama melebur menjadi satu arus besar mengawal misi ini. Katanya, sisi kemanusiaan harus ditempatkan dalam prioritas utama peradaban manusia di muka bumi.
Serangkaian peristiwa tragis yang terjadi dalam dua dasawarsa terakhir, seperti drama penyerangan gedung WTC, peledakan bom Bali dan JW Marriot, serta aksi teror lainnya setidaknya telah melukai sisi kemanusiaan kita. Bahkan nama baik agama juga tercoreng karena diketahui bahwa motivasi pelaku tindakan tersebut adalah pembelaan terhadap agama (yang disalahpahami). Agama, dalam hal ini Islam, kemudian dilukiskan dengan wajah menyeramkan sebagai penebar kekerasan dan terorisme.
Dalam konteks pemikiran, muncul suatu gagasan baru dari para pemikir ‘progresif’ yang dianggap menawarkan pendekatan manusiawi atau humanis sebagai solusi menyelesaikan problematika ini. Doktrin yang diadopsi dari peradaban Barat ini dimaksudkan untuk menggali nilai-nilai manusiawi sebagai acuan untuk membangun peradaban manusia secara global. Karakter kekerasan atas nama agama dan ‘perwakilan Tuhan’ yang berhak menghukum manusia harus segera disingkirkan demi tercipta kehidupan yang damai.
Alasannya, pemahaman agama yang menganggap segala sesuatu yang dikerjakan manusia adalah untuk kepentingan Tuhan semata dan tanpa menghiraukan nilai kemanusiaan justru melanggengkan kekerasan. Oleh sebab itu, paradigma keagamaan harus digeser dari pusat Tuhan (teosentris) menuju pusat manusia (antroposentris).
Pemahaman keagaamaan seharusnya pro terhadap aspirasi dan kemaslahatan manusia, karena Tuhan maha segalanya sehingga tak perlu mati-matian dibela.
Dalam sejarahnya, perubahan paradigma dari teosentris ke antroposentris tidak datang secara instan, melainkan akibat dari trauma keagamaan yang terjadi di Barat. Zaman kegelapan (abad 5 M – abad 14 M), yang dikuasai oleh hegemoni Gereja membuat kebebasan masyarakat Barat terkekang dalam seluruh dimensi kehidupannya. Bahkan nilai-nali moral dan kemasuaiaan pun direndahkan dan dilecehkan. Kebebasan berpikir dan pengembangan ilmu pengetahuan harus tunduk dengan dogma Gereja, sehingga apapun yang bertentangan dengan Gereja harus ditendang. Iklim tidak harmonis antara Gereja dan masyarakat inilah yang membawa stigma buruk bagi agama. Kesan agama sebagai pamong kemanusiaan menjelma menjadi monster pembantai yang sangat tidak manusiawi. Dan setelah zaman pencerahan (renaissance) datang, trauma tersebut terobati dengan hadirnya paham humanisme bersamaan dengan liberalisme.
Dampak Humanisme bagi Barat
Sekilas, gagasan humanisme memang tampak bertujuan baik. Tapi jika dirunut lebih teliti, dalam pendangan ini justru tersimpan doktrin pengingkaran terhadap Tuhan dan jati diri manusia itu sendiri. Jika segala sesuatu harus dipusatkan pada manusia, maka tugas Tuhan sudah selesai sampai tahap penciptaan saja. Selebihnya menjadi urusan manusia.
Manusia akan diberi kebebasan sebebas-bebasnya untuk mengatur urusannya sendiri tanpa campur tangan Tuhan. Dalam hal ini, secara sederhana inti doktrin humanisme adalah ingin menuhankan manusia dengan dalih kemanusiaan.
Sebagai paham yang lahir dari peradaban Barat, humanisme merupakan konsekuensi logis dari proses sekulerisasi yang telah berhasil menggantikan posisi agama. Dengan semakin jauhnya agama, maka praktik yang bertentangan dengan agama pun mudah masuk. Agama ketika berhadapan dengan humanisme menjadi tak berkutik. Fenomena paling menarik, misalnya, adalah legalisasi praktik gay dan lesbian, di mana seluruh negara yang tergabung dalam Uni Eropa telah melegalkan praktik ini. Padahal, dalam kepercayaan agama Islam, Kristen maupun Yahudi, praktik ini dengan tegas dilarang.
Bahkan pelakunya diancam hukuman mati. Namun karena alasan kemanusiaan, minoritas, toleransi dan kebebasan berekspresi, nilai-nilai agama pun disingkirkan dan sama sekali tidak dihiraukan.
Selain berujung pada ‘pembunuhan’ Tuhan, humanisme juga berujung pada pengingkaran terhadap jati diri manusia itu sendiri. Dalam masalah legalisasi praktik gay dan lesbian di atas, pengingkaran terhadap jati diri manusia begitu mudah diidentifikasi. Manusia, secara naluriah, diciptakan berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan. Kecondongan terhadap lawan jenis adalah insting nalurah yang ada dalam semua makhluk bernama manusia.
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran: 14).
Bukan hanya manusia, bahkan seluruh alam semesta inipun diciptakan secara berpasang-pasangan. “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (QS. al-Dzariyat: 49). Karena itu, mengacuhkan pasangan lawan jenis yang sudah ditentukan, lalu mengambil pasangan sesama jenis yang tidak sesuai dengan naluri kemanusiaan berarti telah mengingkari jati diri manusia sebagai makhluk yang diciptakan berpasang-pasangan. Dalam hal ini, binatang bahkan lebih baik dari manusia, karena binatang –secara insting naluriahnya- masih mengambil lawan jenis sebagai pasangannya.
Dalam masalah kesetaraan gender, wanita juga dipaksa menghilangkan jati diri kewanitaannya. Wanita yang diciptakan dengan keistimewaan sebagai makhluk yang selalu ingin dilindungi dan dimanja, dipaksa menjadi sosok pelindung dan penyokong.
Perbedaan kodrati antara laki-laki dan perempuan juga dipaksa untuk dihilangkan oleh paham humanisme ini. Akibatnya, wanita pun menjadi “makhluk lain” yang bukan wanita, bukan pula pria. Padahal antara pria dan wanita terdapat perbedaan kodrati yang tidak bisa disamakan. “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, dikarenakan Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. al-Nisa: 34).
Sedangkan dalam bidang lingkungan hidup, pemahaman antroprosentris juga melahirkan eksploitasi besar-besaran terhadap alam. Peran manusia sebagai pemakmur bumi (khalifah fi al-ardh) diganti sebagai ‘juragan’ alam yang berhak berbuat sekehendaknya. Isu pemanasan global (global warming) yang banyak menyedot perhatiaan umat manusia saat ini, misalnya, adalah salah satu akibat ketidakseimbangan alam akibat kerakusan manusia yang telah menuhankan diri mereka sendiri. “Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kerusakan.” (QS al-Baqarah: 205).
Islam justru Agama Humanis
Jika paham humanisme berujung pada pengingkaran Tuhan dan jati diri manusia, Islam justru sangat mementingkan aspek kemanusian. Seluruh ajaran Islam yang diwujudkan dalam bentuk syariat Islam selalu membidik aspek kemanusiaan dan berorientasi sosial.
Pengharaman segala sesuatu yang membawa dampak negatif pada manusia, sekaligus pembolehan segala sesuatu yang berdampak positif bagi mereka adalah esensi dari lahirnya agama Islam.
Lima tujuan syariat (maqasid al-syariah), empat di antaranya secara jelas berorientasi kemanusiaan, yaitu menjaga akal, menjaga jiwa, menjaga keturunan dan kehormatan, dan menjaga harta benda. Itupun jika kita ‘terpaksa’ mengatakan bahwa “hifdul al-din” (menjaga agama) bukan untuk kemaslahatan manusia. Tapi karena naluri untuk beragama adalah naluri kondrati setiap manusia, maka menjaga agama juga pada dasarnya berorientasi pada aspek kemanusiaan, yaitu untuk kebaikan manusia itu sendiri. Jika demikian, maka seluruh tujuan ajaran agama Islam adalah dimaksudkan untuk kepentingan manusia.
Dalam Islam, konsep manusia terbaik --seperti yang disabdakan oleh Rasulullah—adalah manusia yang paling banyak memberi manfaat kepada manusia lainnya, bukan manusia yang hidup untuk diri sendiri dan melakukan pengrusakan di bumi. Islam juga mengajarkan perdamaian (ifsya’ al-salam), membantu orang yang membutuhkan (itham al-masakin), dan menjaga lingkungan (hifd al-bi’ah). Allah SWT befirman, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya. Dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan berharap (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik." (QS al-A’raf: 56).
Untuk mewujudkan wajah Islam yang humanis, kita tak perlu mengadopsi paham humanisme yang jelas-jelas membawa kerusakan pada manusia dan alam. Yang harus lebih kita tekankan adalah pemahaman kita terhadap ajaran Islam yang sesungguhnya. Konsep “insan kamil” yang dikenalkan oleh Muhammad Iqbal bisa jadi rujukan, yaitu Islam yang menggabungkan sisi kemanusiaan, keindahan, dan kesempurnaan, tanpa menghilangkan ketakwaan dan hubungan erat kita dengan Tuhan.
Kita tidak perlu memperjuangkan humanisme dengan menggadaikan keyakinan agama kita (Islam). Toh Islam pada hakikatnya sangat menghargai manusia, melebihi apa yang ditawarkan oleh paham humanisme. Islam jika dilihat dari sudut antroposentris, ia dekat dengan teosentris, dan jika dilihat dari sudut teosentris, ia sangat kental dengan antroposentris.
Alhasil, paham humanisme selamanya tidak akan pernah memberikan jawaban yang benar-benar solutif terhadap kehidupan manusia. Yang ada, manusia justru akan semakin terasing di dunianya sendiri, karena jika manusia melupakan Allah, maka Allah akan menjadikan mereka lupa terhadap jati diri kita sendiri.
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS al-Hasyr: 19). Wallahu 'alam.*
Penulis adalah pegiat kajian NUN Center lil Dirasah al-Islamiyyah wal Hadhariyah, IKPM Cabang Kairo, Mesir
PERSOALAN kemanusiaan menjadi tema penting yang saat ini hangat dibicarakan oleh banyak kalangan di seluruh dunia. Semua sekat teritorial, ras, gender dan agama melebur menjadi satu arus besar mengawal misi ini. Katanya, sisi kemanusiaan harus ditempatkan dalam prioritas utama peradaban manusia di muka bumi.
Serangkaian peristiwa tragis yang terjadi dalam dua dasawarsa terakhir, seperti drama penyerangan gedung WTC, peledakan bom Bali dan JW Marriot, serta aksi teror lainnya setidaknya telah melukai sisi kemanusiaan kita. Bahkan nama baik agama juga tercoreng karena diketahui bahwa motivasi pelaku tindakan tersebut adalah pembelaan terhadap agama (yang disalahpahami). Agama, dalam hal ini Islam, kemudian dilukiskan dengan wajah menyeramkan sebagai penebar kekerasan dan terorisme.
Dalam konteks pemikiran, muncul suatu gagasan baru dari para pemikir ‘progresif’ yang dianggap menawarkan pendekatan manusiawi atau humanis sebagai solusi menyelesaikan problematika ini. Doktrin yang diadopsi dari peradaban Barat ini dimaksudkan untuk menggali nilai-nilai manusiawi sebagai acuan untuk membangun peradaban manusia secara global. Karakter kekerasan atas nama agama dan ‘perwakilan Tuhan’ yang berhak menghukum manusia harus segera disingkirkan demi tercipta kehidupan yang damai.
Alasannya, pemahaman agama yang menganggap segala sesuatu yang dikerjakan manusia adalah untuk kepentingan Tuhan semata dan tanpa menghiraukan nilai kemanusiaan justru melanggengkan kekerasan. Oleh sebab itu, paradigma keagamaan harus digeser dari pusat Tuhan (teosentris) menuju pusat manusia (antroposentris).
Pemahaman keagaamaan seharusnya pro terhadap aspirasi dan kemaslahatan manusia, karena Tuhan maha segalanya sehingga tak perlu mati-matian dibela.
Dalam sejarahnya, perubahan paradigma dari teosentris ke antroposentris tidak datang secara instan, melainkan akibat dari trauma keagamaan yang terjadi di Barat. Zaman kegelapan (abad 5 M – abad 14 M), yang dikuasai oleh hegemoni Gereja membuat kebebasan masyarakat Barat terkekang dalam seluruh dimensi kehidupannya. Bahkan nilai-nali moral dan kemasuaiaan pun direndahkan dan dilecehkan. Kebebasan berpikir dan pengembangan ilmu pengetahuan harus tunduk dengan dogma Gereja, sehingga apapun yang bertentangan dengan Gereja harus ditendang. Iklim tidak harmonis antara Gereja dan masyarakat inilah yang membawa stigma buruk bagi agama. Kesan agama sebagai pamong kemanusiaan menjelma menjadi monster pembantai yang sangat tidak manusiawi. Dan setelah zaman pencerahan (renaissance) datang, trauma tersebut terobati dengan hadirnya paham humanisme bersamaan dengan liberalisme.
Dampak Humanisme bagi Barat
Sekilas, gagasan humanisme memang tampak bertujuan baik. Tapi jika dirunut lebih teliti, dalam pendangan ini justru tersimpan doktrin pengingkaran terhadap Tuhan dan jati diri manusia itu sendiri. Jika segala sesuatu harus dipusatkan pada manusia, maka tugas Tuhan sudah selesai sampai tahap penciptaan saja. Selebihnya menjadi urusan manusia.
Manusia akan diberi kebebasan sebebas-bebasnya untuk mengatur urusannya sendiri tanpa campur tangan Tuhan. Dalam hal ini, secara sederhana inti doktrin humanisme adalah ingin menuhankan manusia dengan dalih kemanusiaan.
Sebagai paham yang lahir dari peradaban Barat, humanisme merupakan konsekuensi logis dari proses sekulerisasi yang telah berhasil menggantikan posisi agama. Dengan semakin jauhnya agama, maka praktik yang bertentangan dengan agama pun mudah masuk. Agama ketika berhadapan dengan humanisme menjadi tak berkutik. Fenomena paling menarik, misalnya, adalah legalisasi praktik gay dan lesbian, di mana seluruh negara yang tergabung dalam Uni Eropa telah melegalkan praktik ini. Padahal, dalam kepercayaan agama Islam, Kristen maupun Yahudi, praktik ini dengan tegas dilarang.
Bahkan pelakunya diancam hukuman mati. Namun karena alasan kemanusiaan, minoritas, toleransi dan kebebasan berekspresi, nilai-nilai agama pun disingkirkan dan sama sekali tidak dihiraukan.
Selain berujung pada ‘pembunuhan’ Tuhan, humanisme juga berujung pada pengingkaran terhadap jati diri manusia itu sendiri. Dalam masalah legalisasi praktik gay dan lesbian di atas, pengingkaran terhadap jati diri manusia begitu mudah diidentifikasi. Manusia, secara naluriah, diciptakan berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan. Kecondongan terhadap lawan jenis adalah insting nalurah yang ada dalam semua makhluk bernama manusia.
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran: 14).
Bukan hanya manusia, bahkan seluruh alam semesta inipun diciptakan secara berpasang-pasangan. “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (QS. al-Dzariyat: 49). Karena itu, mengacuhkan pasangan lawan jenis yang sudah ditentukan, lalu mengambil pasangan sesama jenis yang tidak sesuai dengan naluri kemanusiaan berarti telah mengingkari jati diri manusia sebagai makhluk yang diciptakan berpasang-pasangan. Dalam hal ini, binatang bahkan lebih baik dari manusia, karena binatang –secara insting naluriahnya- masih mengambil lawan jenis sebagai pasangannya.
Dalam masalah kesetaraan gender, wanita juga dipaksa menghilangkan jati diri kewanitaannya. Wanita yang diciptakan dengan keistimewaan sebagai makhluk yang selalu ingin dilindungi dan dimanja, dipaksa menjadi sosok pelindung dan penyokong.
Perbedaan kodrati antara laki-laki dan perempuan juga dipaksa untuk dihilangkan oleh paham humanisme ini. Akibatnya, wanita pun menjadi “makhluk lain” yang bukan wanita, bukan pula pria. Padahal antara pria dan wanita terdapat perbedaan kodrati yang tidak bisa disamakan. “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, dikarenakan Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. al-Nisa: 34).
Sedangkan dalam bidang lingkungan hidup, pemahaman antroprosentris juga melahirkan eksploitasi besar-besaran terhadap alam. Peran manusia sebagai pemakmur bumi (khalifah fi al-ardh) diganti sebagai ‘juragan’ alam yang berhak berbuat sekehendaknya. Isu pemanasan global (global warming) yang banyak menyedot perhatiaan umat manusia saat ini, misalnya, adalah salah satu akibat ketidakseimbangan alam akibat kerakusan manusia yang telah menuhankan diri mereka sendiri. “Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kerusakan.” (QS al-Baqarah: 205).
Islam justru Agama Humanis
Jika paham humanisme berujung pada pengingkaran Tuhan dan jati diri manusia, Islam justru sangat mementingkan aspek kemanusian. Seluruh ajaran Islam yang diwujudkan dalam bentuk syariat Islam selalu membidik aspek kemanusiaan dan berorientasi sosial.
Pengharaman segala sesuatu yang membawa dampak negatif pada manusia, sekaligus pembolehan segala sesuatu yang berdampak positif bagi mereka adalah esensi dari lahirnya agama Islam.
Lima tujuan syariat (maqasid al-syariah), empat di antaranya secara jelas berorientasi kemanusiaan, yaitu menjaga akal, menjaga jiwa, menjaga keturunan dan kehormatan, dan menjaga harta benda. Itupun jika kita ‘terpaksa’ mengatakan bahwa “hifdul al-din” (menjaga agama) bukan untuk kemaslahatan manusia. Tapi karena naluri untuk beragama adalah naluri kondrati setiap manusia, maka menjaga agama juga pada dasarnya berorientasi pada aspek kemanusiaan, yaitu untuk kebaikan manusia itu sendiri. Jika demikian, maka seluruh tujuan ajaran agama Islam adalah dimaksudkan untuk kepentingan manusia.
Dalam Islam, konsep manusia terbaik --seperti yang disabdakan oleh Rasulullah—adalah manusia yang paling banyak memberi manfaat kepada manusia lainnya, bukan manusia yang hidup untuk diri sendiri dan melakukan pengrusakan di bumi. Islam juga mengajarkan perdamaian (ifsya’ al-salam), membantu orang yang membutuhkan (itham al-masakin), dan menjaga lingkungan (hifd al-bi’ah). Allah SWT befirman, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya. Dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan berharap (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik." (QS al-A’raf: 56).
Untuk mewujudkan wajah Islam yang humanis, kita tak perlu mengadopsi paham humanisme yang jelas-jelas membawa kerusakan pada manusia dan alam. Yang harus lebih kita tekankan adalah pemahaman kita terhadap ajaran Islam yang sesungguhnya. Konsep “insan kamil” yang dikenalkan oleh Muhammad Iqbal bisa jadi rujukan, yaitu Islam yang menggabungkan sisi kemanusiaan, keindahan, dan kesempurnaan, tanpa menghilangkan ketakwaan dan hubungan erat kita dengan Tuhan.
Kita tidak perlu memperjuangkan humanisme dengan menggadaikan keyakinan agama kita (Islam). Toh Islam pada hakikatnya sangat menghargai manusia, melebihi apa yang ditawarkan oleh paham humanisme. Islam jika dilihat dari sudut antroposentris, ia dekat dengan teosentris, dan jika dilihat dari sudut teosentris, ia sangat kental dengan antroposentris.
Alhasil, paham humanisme selamanya tidak akan pernah memberikan jawaban yang benar-benar solutif terhadap kehidupan manusia. Yang ada, manusia justru akan semakin terasing di dunianya sendiri, karena jika manusia melupakan Allah, maka Allah akan menjadikan mereka lupa terhadap jati diri kita sendiri.
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS al-Hasyr: 19). Wallahu 'alam.*
Penulis adalah pegiat kajian NUN Center lil Dirasah al-Islamiyyah wal Hadhariyah, IKPM Cabang Kairo, Mesir
Posting Komentar