Indonesia adalah bangsa yang besar, dengan adat dan kebudayaan yang bernilai tinggi. Di jaman Majapahit, bangsa kita telah mampu membuat maha karya dunia semacam Candi Borobudur. Bahkan di jaman Majapahit pula, wilayah Nusantara meluas hingga mencakup sebagian selat Malaka. Namun kebesaran Nusantara perlahan terkikis dengan hancurnya Majapahit.
SUMPAH PALAPA, CIKAL BAKAL NKRI
Sejarah mencatat bahwa hancurnya Majapahit adalah akibat pengaruh agresi kerajaan Islam Demak. Tak banyak jejak untuk melacak bagaimana sejarah penghancuran Budha Nusantara oleh Islam. Tak banyak pula informasi sejarah mengenai kapan dan bagaimana masuknya Islam ke bumi Nusantara ini. Kehancuran Majapahit, serta perebutan kekuasaan antar para wali setelah runtuhnya Majapahit, menyebabkan penjajah Eropa dengan mudah menguasai Indonesia.
Hanya sedikit informasi sejarah mengenai bagaimana penyebaran Islam di Indonesia. Hal ini dapat dimaklumi, karena dimana Islam berhasil menguasai suatu bangsa, baik dengan cara peperangan ataupun propaganda mereka akan menghancurkan simbol-simbol dan tulisan-tulisan yang menyangkut indetitas bangsa yang mereka kuasai sehingga satu-satunya indetitas yang diketahui hanyalah Islam.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, tak banyak informasi sejarah mengenai bangsa kita, karena kemungkinan sebagian besar bukti sejarah tersebut telah dihancurkan oleh Islam. Sehingga yang diketahui generasi kita sekarang hanyalah cerita-cerita tentang kehebatan Islam.
Menurut para intelektual Islam, terdapat 3 teori mengenai asal muasal datangnya Islam ke Indonesia. Teori pertama diusung oleh Snouck Hurgronje yang mengatakan Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah di anak benua India. Tempat-tempat seperti Gujarat, Bengali dan Malabar disebut sebagai asal masuknya Islam di Nusantara. Teori kedua, adalah Teori Persia. Tanah Persia disebut-sebut sebagai tempat awal Islam datang di Nusantara. Teori ini berdasarkan kesamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat Islam dengan penduduk Persia. Teori ketiga, adalah Teori Arabia. Dalam teori ini disebutkan, bahwa Islam yang masuk ke Indonesia datang langsung dari Makkah atau Madinah. Waktu kedatangannya pun bukan pada abad ke-12 atau 13, melainkan pada awal abad ke-7.
Saat ini team kami sedang melakukan riset untuk menggali sejarah penyebaran Islam, dan kemunduran Budhisme di Indonesia. Namun sebelum itu marilah kita melihat beberapa tulisan kuno yang mungkin bisa sedikit membuka mata kita mengenai penyebab kemunduran agama Budha, dan upaya2 para wali untuk menyebarkan Islam di Indonesia.
Terdapat tulisan sejarah yang sedikit membuka mata kita mengenai seperti apa sesungguhnya cara Islam masuk ke Indonesia. Teks sejarah ini bernama DARMOGANDHUL. Tulisan ini adalah karya sastra Jawa klasik, berbahasa jawa baru, berbentuk puisi tembang macapat, bernafaskan Islam dan berisi ajaran tasawuf atau mistik. Suluk ini ditulis oleh Ki Kalamwadi (nama samaran, kemungkinan besar adalah Ronggo Warsito), waktu penulisan hari sabtu legi, 23 ruwah 1830 Jawa. Isi teks menceritakan jatuhnya kerajaan Majapahit karena serbuan tentara Demak Bintara yang dibantu para wali.
Berikut ringkasan dari Darmo Gandul
Pada suatu hari, Darmogandul bertanya kepada Ki Kalamwadi tentang asal mula orang Jawa meninggalkan agama Budha dan berganti agama Islam. Lantas, Ki Kalamwadi pun menjawab:
"Aku tidak mengerti. Tetapi guru yang dapat dipercaya menceritakan asal-usul orang Jawa meninggalkan agama Budha dan berganti memeluk agama Islam .Ini memang perlu dikatakan, agar orang yang belum tahu menjadi tahu."
Pada zaman dulu Majapahit (1292-1478) bernama Majalengka. Majapahit hanyalah kiasan. Bagi yang belum tahu ceritanya, Majapahit dianggap sebagai nama kerajaan. Prabu Brawijaya V adalah raja terakhir yang berkuasa. Ia menikah dengan Putri Campa yang beragama Islam. Putri inilah yang membuat Brawijaya tertarik Islam. Ketika sedang beradu asmara, sang putri selalu membeberkan keutamaan agama itu.
Setiap dekat sang prabu, tiada kata lain yang terucap dari Putri Campa kecuali kemuliaan agama Islam. Tak lama kemudian datanglah kemenakan Putri Campa bernama Sayid Rahmad ( Sunan Ampel ). Ia mohon izin menyebarkan ajaran Islam di Majalengka. Sang Prabu mengabulkan. Sayid Rahmad tinggal di desa Ngampeldento-Surabaya. Banyak ulama Arab kemudian datang ke Majalengka. Menghadap sang prabu mohon izin tinggal di wilayah pesisir. Permohonan itu dikabulkan. Akhirnya berkembang dan banyak orang Jawa memeluk agama Islam.
Perkembangan itu menempatkan seorang guru agama Islam tinggal di daerah Bonang, termasuk wilayah Tuban. Sayid Kramat ( Sunan Bonang ) namanya. Ia maulana Arab keturunan Nabi Mohammad Rasulullah.
Orang-orang Jawa banyak yang tertarik kepadanya. Penduduk Jawa yang tinggal di pesisir Barat sampai Timur meninggalkan agama Budha dan memeluk agama Islam. Di wilayah Blambangan sampai ke arah Barat menuju Banten pun banyak yang mengikuti ajaran Islam. Agama Buddha telah mengakar di tanah Jawa lebih 1.000 tahun. Menyembah kepada Budi Hawa. Budi adalah Dzat Tuhan. Sedangkan Hawa adalah minat hati.
Sang Prabu mempunyai seorang putra bernama Raden Patah. Ia lahir di Palembang dari rahim Putri Campa. Sejak kecil Raden Patah telah dididik secara Islam. Ketika Raden Patah dewasa, ia menghadap kepada ayahnya bersama saudara lain ayah tetapi masih sekandung, bernama Raden Kusen (Husein / Raden Arya Pecattanda ).
Sang Prabu bingung memberi nama putranya. Diberi nama dari jalur ayah, beragama Buddha, keturunan raja yang lahir di pegunungan. Dari jalur ibu disebut Kaotiang. Sedangkan menurut orang Arab, ia harus dinamakan Sayid atau Sarib. Sang Prabu memanggil patih dan abdi lain untuk dimintai pertimbangan. Sang patih pun berpendapat, bila mengikuti leluhur kuno, putra sang Prabu itu dinamakan Bambang. Tetapi karena ibunya orang Cina, lebih baik dinamakan Babah, yang artinya lahir di tempat lain. Pendapat patih ini disetujui abdi yang lain. Sang Prabu pun berkata kepada seluruh pasukan bahwa putranya diberi nama Babah Patah.
Sampai saat ini, keturunan pembauran antara Cina dan Jawa disebut Babah. Meski tidak menyukai nama pemberian ayahnya itu, Raden Patah takut untuk menentangnya. Babah Patah kemudian diangkat menjadi Bupati di Demak. Ia memimpin para bupati di sepanjang pantai Demak ke Barat. Ia dinikahkan dengan cucu Kyai Ageng Ngampel. Babah Patah tinggal di desa Bintara, Demak. Babah Patah telah beragama Islam sejak di Palembang. Di Demak ia diminta untuk menyebarkan agama Islam. Raden Kusen diangkat menjadi Adipati di Terung, dengan nama baru Raden Arya Pecattanda.
Ajaran Islam makin berkembang. Banyak ulama berpangkat mendapat gelar Sunan. Sunan artinya budi. Sumber pengetahuan tentang baik dan buruk. Orang yang berbudi baik patut dimintai ajarannya tentang ilmu lahir batin. Pada waktu itu para ulama baik budinya. Belum memiliki kehendak yang jelek. Banyak yang mengurangi makan dan tidur. Sang Prabu Brawijaya berpikir, para ulama bersarak Budha itu mengapa disebut Sunan. Mengapa juga masih mengurangi makan dan tidur.
Pada waktu itu sunan Bonang akan pergi ke Kediri, diantar dua sahabatnya. Di utara Kediri, yakni di daerah Kertosono, rombongan terhalang air sungai Brantas yang meluap. Sunan Bonang dan dua sahabatnya menyeberang. Tiba di timur sungai, Sunan Bonang menyelidiki agama penduduk setempat. Sudah Islam atau masih beragama Budha . Ternyata, kata Ki Bandar, masyarakat daerah itu beragama Kalang, memuliakan Bandung Bondowoso. Menganggap Bandung Bondowoso sebagai nabi mereka. Hari Jumat Wage wuku wuye, adalah hari raya mereka. Setiap hari itu, mereka bersama-sama makan enak dan bergembira ria.
Kata Sunan Bonang, " Kalau begitu, orang disini semua beragama Gedhah. Artinya, tidak hitam, putih pun tidak. Untuk itu tempat ini kusebut Kota Gedhah." Sejak itu, daerah di sebelah utara Kediri ini bernama Kota Gedhah.
Kutukan Sunan Bonang terhadap Seorang Wanita
Hari terik. Waktu sholat dhuhur tiba. Sunan Bonang ingin mengambil air wudhu. Namun karena sungai banjir dan airnya keruh, maka Sunan Bonang meminta salah satu sahabatnya untuk mencari air simpanan penduduk. Salah satu sahabatnya pergi ke desa untuk mencari air yang dimaksud. Sesampai di desa Patuk ada sebuah rumah. Tak terlihat laki-laki di sini. Hanya ada seorang gadis berajak dewasa sedang menenun. " Hai Gadis, aku minta air simpanan yang jernih dan bersih," kata sahabat itu. Perawan itu terkejut. Ia menoleh. Dilihatnya seorang laki-laki. Ia salah paham. Menyangka lelaki itu bermaksud menggodanya. Ia menjawab kasar :
"Kamu baru saja lewat sungai. Mengapa minta air simpanan. Di sini tidak ada orang yang menyimpan air kecuali air seniku ini sebagai simpanan yang jernih bila kamu mau meminumnya."
Mendengar kata-kata kasar itu, sahabat itu langsung pergi tanpa pamit. Mempercepat langkah sambil mengeluh sepanjang perjalanan. Tiba di hadapan Sunan Bonang, peristiwa tak menyenangkan itu disampaikan. Mendengar penuturan itu Sunan Bonang naik pitam. Keluarlah kata-kata keras. Sunan menyabda tempat itu akan sulit air. Gadis-gadisnya tidak akan mendapat jodoh sebelum usianya tua. Begitu juga dengan kaum jejakanya. Tidak akan kimpoi sebelum menjadi jejaka tua.
Terkena ucapan Sunan Bonang, aliran sungai Brantas menyusut. Aliran sungai berbelok arah. Membanjiri desa-desa, hutan, sawah, dan kebun. Prahara datang diterjang arus sungai yang menyimpang. Dan setelah itu kering seketika. Sampai kini daerah Gedhah sulit air. Perempuan-perempuannya menjadi perawan tua. Begitu juga kaum laki-lakinya. Mereka terlambat berumah tangga.
Kemudian, Sunan Bonang melanjutkan perjalanannya ke Kediri. Di daerah ini ada demit (mahluk halus) bernama Nyai Plencing. Menempati sumur Tanjungtani yang sedang dikerumuni anak cucunya. Mereka lapor, bahwa ada orang bernama Sunan Bonang suka mengganggu kaum mahluk halus dan menonjolkan kesaktian. Anak cucu Nyai Plencing mengajak Nyai Plencing membalas Sunan Bonang. Caranya dengan meneluh dan menyiksanya sampai mati agar tidak suka mengganggu lagi.
Mendengar usul itu Nyai Plencing langsung menyiapkan pasukan, dan berangkat menemui Sunan Bonang. Tetapi anehnya, para setan itu tidak bisa mendekati Sunan Bonang. Badannya terasa panas seperti dibakar. Setan-setan itu berhamburan. Lari tunggang langgang. Mereka lapor ke Kediri menemui rajanya.
Raja mereka bernama Buta Locaya, tinggal di Selabale, di kaki Gunung Wilis. Buta Locaya semula adalah patih raja Sri Jayabaya, bernama Kyai Daha. Ia dikenal sebagai cikal bakal Kediri. Ketika Raja Jayabaya memerintah daerah ini, namanya diminta untuk nama negara.
Ia diberi nama Buta Locaya dan diangkat patih Prabu Jayabaya. Buta sendiri artinya bodoh. Lo bermakna kamu. Dan Caya dapat dipercaya. Bila disambung, maka Buta Locaya mempunyai makna orang bodoh yang dapat dipercaya.
Ketika Prabu Jayabaya muksa ( mati bersama raganya hilang ) bersama Ni Mas Ratu Pagedongan, Buta Locaya dan Kyai Tunggulwulung juga ikut muksa. Ni Mas kemudian menjadi ratu setan di Jawa. Tinggal di laut Selatan dan bergelar Ni Mas Ratu Angin-Angin. Semua mahluk halus yang ada di laut selatan tunduk dan berbakti kepada Ni Mas Ratu Angin-Angin ( Nyi Loro Kidul ). Buta Locaya menempati Selabale. Sedangkan Kyai Tunggulwulung tinggal di Gunung Kelud menjaga kawah dan lahar agar tidak merusak desa sekitar.
Ketika Nyai Plencing datang, Buta Locaya sedang duduk di kursi emas beralas kasur babut dihias bulu merak. Ia sedang ditemani patihnya, Megamendung dan anaknya, Paji Sektidiguna dan Panji Sarilaut. Ia amat terkejut melihat Nyai Plencing yang datang sambil menangis.
Ia melaporkan kerusakan-kerusakan di daerah utara Kediri yang disebabkan ulah orang dari Tuban bernama Sunan Bonang. Nyai Plencing juga memaparkan kesedihan para setan dan penduduk daerah itu. Mendengar laporan Nyai Plencing, Buta Locaya murka.
Tubuhnya bagaikan api Ia memanggil anak cucu dan para jin untuk melawan Sunan Bonang. Para setan dan jin itu bersiap berangkat. Lengkap dengan peralatan perang. Mengikuti arus angin, mereka pun sampai di desa Kukum. Di tempat ini Buta Locaya menjelma menjadi manusia, berganti nama Kyai Sumbre. Sementara setan dan jin yang beribu-ribu jumlahnya tidak menampakkan diri.
Menghadang perjalanan Sunan Bonang yang datang dari utara. Sebagai orang sakti, Sunan Bonang tahu ada raja setan dan jin sedang menghadang perjalanannya. Tubuh Sunan yang panas menjelma bagai bara api. Para setan dan jin yang beribu-ribu itu menjauh. Tidak tahan menghadapi wibawa Sunan Bonang. Namun tatkala berhadapan dengan Kyai Sumbre, Sunan Bonang juga merasakan hawa panas. Dua sahabatnya pingsan dan demam.
Debat Soal Tuhan dan Kebenaran
Debat sengit antara Sunan Bonang dengan Buta Locaya makin seru. Sunan Bonang dengan tegas menyatakan bahwa, daerah tersebut dikatakan Gedah karena tidak jelas agamanya. Sunan Bonang berkata;
"Kusabdakan sulit air karena ketika aku minta air tidak diberi. Sungai ini kupindah alirannya agar kesulitan mendapatkan air. Sedangkan jejaka dan perawan kusabdakan sulit mendapat jodoh karena yang kuminai air itu perawan desa."
Buta Locaya menjawab, bahwa itu tidak seimbang.
“Salah yang tak seberapa, apalagi hanya dilakukan oleh seseorang, tetapi penderitaannya dirasakan oleh banyak orang. Bila dilaporkan kepada penguasa, tentu akan mendapatkan hukuman berat karena merusak daerah.”
Sunan Bonang menjawab, ia pun tak takut dilaporkan Raja Majalengka. Ketika Buta Locaya mendengar kata-kata itu, ia pun marah. Buta Locaya berkata masygul :
" Ucapan tuan bukan ucapan yang paham aturan negara. Itu pantas diucapkan oleh orang yang tinggal di rumah madat, mengandalkan kesaktian. Janganlah sombong. Mentang-mentang dikasihi tuan berkawan dengan malaikat, lalu berbuat sekehendak hati. Tidak melihat kesalahan, menganiaya orang lain tanpa sebab.”
Meskipun di Jawa ini akan ada orang yang lebih kuat dari pada tuan, tapi mereka baik budi dan takut kepada laknat dewa. Tuan akan dijauhi orang2 baik budi bila tetap berbuat demikian. Apakah tuan termasuk orang seperti Aji Saka murid Ijajil ? Aji Saka menjadi raja di Jawa hanya tiga tahun, lalu pergi sambil membawa seluruh sumber air di Medang. Ia Hindu. Suka membuat sulit air.
Tuan mengaku sunan seharusnya berbudi baik, menyelamatkan orang banyak, tetapi ternyata tidak demikian. Tuan layak seperti setan yang menampakkan diri, tidak tahan digoda anak kecil. Lekas naik darah. Sunan apakah itu ?
Jika memang sebagai Sunan manusia sesungguhnya, tentu suka berbuat kebajikan. Tuan menyiksa orang tanpa dosa. Itulah jalan celaka, tanda bahwa tuan telah menciptakan neraka jahanam. Bila telah jadi lalu tuan tempati sendiri, mandi di dalam air mendidih."
Hamba ini bangsa mahluk halus, tidak selam dengan manusia, tetapi hamba masih memperhatikan nasib manusia. Marilah semuanya yang rusak itu tuan kembalikan kepada keadaan semula. Sungai yang kering dan daerah yang terlanda banjir hamba mohon agar dikembalikan. Semua orang Jawa yang beragama Islam akan hamba teluh supaya mati. Hamba akan meminta bantuan Kangjeng Ratu Angin-Angin di laut Selatan."
Begitu mendengar kemarahan Buta Locaya, Sunan Bonang menyadari kesalahannya. Ia berkata,
" Buta Locaya, aku Sunan tidak diperkenankan meralat ucapanku. Aku hanya bisa membatasi saja. Kelak, bila telah berlangsung 500 tahun, sungai ini dapat kembali seperti semula."
Buta Locaya mendengar kesediaan Sunan Bonang, bertambahlah kemarahannya.
" Kembalikan sekarang juga. Bila tidak, tuan akan hamba ikat."
Sunan Bonang menjawab:
" Sudah, jangan berbantah lagi. Aku mohon diri akan berjalan ke timur. Buah Sambi ini kunamakan cacil karena keadaan ini seperti anak kecil yang sedang berkelahi. Setan dan manusia saling berebut kebenaran tentang kerusakan yang ada di daerah dan kesedihan manusia dengan setan. Kumohonkan kepada Tuhan, buah sambi menjadi dua macam, daging buahnya menjadi asam. Bijinya mengeluarkan minyak sebagai lambang muka yang masam. Tempat perjumpaan ini kuberi nama Singkal di sebelah utara dan di sini bernama Desa Sumbre. Sedangkan tempat kawan-kawanmu di selatan kuberi nama Kawanguran."
Setelah berkata demikian, Sunan Bonang meloncat ke arah Timur sungai. Terkenal sampai kini di Kota Gedah ada desa yang bernama Singkal, Sumbre dan Kawanguran. Kawanguran artinya pengetahuan, Singkal artinya susah kemudian menemukan akal. Buta Locaya memburu kepergian Sunan Bonang, yang menyaksikan arca Kuda yang berkepala dua di bawah pohon Trenggulun. Banyak buah trenggulun yang berserakan. Sunan Bonang kemudian memegang parang dan kepala arca Kuda itu dipenggalnya.
Ketika Buta Locaya melihat Sunan Bonang memenggal kepala arca itu, semakin bertambahlah kemarahannya.
" Arca itu buatan sang Prabu Jayabaya sebagai lambang tekad wanita. Kelak di zaman Nusa Srenggi, barang siapa yang melihat arca itu, akan mengetahui tekat para wanita Jawa.”
Sunan Bonang pun berkata,
" Kau ini bangsa jin. Jadi kalau berani berdebat dengan manusia, namanya jin yang sombong.”
Kata Buta Locaya,
" Apa bedanya. Tuan Sunan, saya ratu Jin,"
Sunan Bonang berkata,
“Trenggulun ini kuberinama Kentos sebagai peringatan kelak, bahwa aku berdua debat dengan hantu yang sombong tentang kerusakan arca.”
Sunan Bonang kemudian berjalan ke utara. Ketika menjelang salat asar, beliau akan bersiap salat. Di luar desa ada sumur tetapi tiada timba. Sumur itu kemudian digulingkan. Dengan begitu Sunan Bonang dapat bersuci untuk bersalat. Terkenal sampai sekarang, sumur itu bernama sumur gumuling." Setelah salat, Sunan melanjutkan perjalanan. Sesampai di desa Nyahen, ada patung raksasa perempuan berada di bawah pohon dadap yang berbunga. Sangat banyak dan berguguran di sekitarnya. Patung raksasa itu kelihatan merah menyala, marak oleh bunga yang berjatuhan.
Melihat patung itu, Sunan Bonang keheranan. Patung itu berukuran sangat besar. Arca itu tampak duduk ke arah Barat setinggi 16 kaki. Lingkar pinggulnya 10 kaki. Jika dipindahkan tidak akan terangkat oleh 800 orang kecuali dengan alat. Bahu kanannya dipatahkan, dan dahinya diludahi.
Buta Locaya marah lagi.
"Tuan ternyata orang jahil, patung yang masih baik dirusak tanpa alasan. Kini menjadi jelek. Padahal patung itu karya Sang Prabu Jayabaya. Apakah hasilnya bila tuan merusak patung itu ?"
Sunan Bonang :
"Patung itu kurusak agar tidak disembah banyak orang, agar tidak diberi sesaji dan diberi kemenyan. Orang yang memuja berhala itu kafir, rusak lahir batin."
Kata Buta Locaya,
"Orang Jawa kan sudah tahu bahwa itu patung dari batu yang tidak berdaya dan berkuasa. Bukan Tuhan, maka mereka layani. Diberi nyala kemenyan, diberi sesaji, agar para hantu tidak menempati tanah dan kayu yang dapat menghasilkan untuk manusia. Para hantu mereka tempatkan di patung itu, lalu tuan usir ke mana ? Telah lazim setan tinggal di gua, arca, dan makan bau-bauan harum. Bila menyantap bebauan harum, hantu akan merasa nyaman. Lebih senang lagi bila tinggal di patung yang utuh. Di tempat sepi dan rindang atau di bawah pohon besar.Mereka menyadari bahwa alam halus berbeda dengan alam manusia."
Sunan Bonang Khilaf. Buta Locaya berkata,
" Nabi itu kan manusia kekasih Tuhan ? Mendapat wahyu agar pandai dan cermat penglihatannya. Sedangkan yang membuat arca Batu adalah Prabu Jaya Baya, kekasih Tuhan pula, mendapatkan wahyu mulia. Dia pun pandai dan kaya ilmu. Awas penglihatannya, mengetahui hal-hal yang belum terjadi. TUAN BERPEDOMAN KITAB, ORANG JAWA PUN BERBEDOMAN PETUAH DARI PARA LELUHURNYA. SAMA2 MENGHARGAI KABAR, LEBIH BAIK MENGHARGAI KABAR DARI LELUHUR SENDIRI DENGAN PENINGGALAN YANG MASIH BISA DISAKSIKAN.
Pulau Jawa ini tanah suci dan mulia, dingin dan panasnya cukup. Tanah berpasir murah air. Apa saja ditanam dapat tumbuh. Pria tampak tampan, wanita kelihatan cantik, serba luwes tutur katanya. Bila tuan ingin melihat pusat dunia, yang hamba duduki inilah adanya. Silakan tuan ukur. Seandainya tidak benar, pukullah.
Yang membuat arca itu adalah tuanku Prabu Jayabaya. Dapatkah tuan menebak sesuatu yang belum terjadi ? Sudahlah, hamba persilakan tuan pergi dari sini. Bila menolak akan hamba panggilkan adik hamba dari Gunung Kelud. Tuan akan kami keroyok. Dapatkah tuan menang ? Lalu akan hamba bawa ke dalam kawah gunung Kelud, apakah tuan tidak susah ? Inginkah tuan tinggal di Batu seperti hamba ? Mari ke Selabale menjadi murid hamba."
Sunan Bonang :
" Tak sudi mengikuti kata-katamu. Kau hantu brekasaan."
Buta Locaya berkata,
" Meskipun hamba hantu, tetapi hamba raja. Abadi selamanya. Tuan belum tentu seperti hamba. Tekat tuan kotor, suka mengganggu dan menganiaya. Tampak di sini masih sering melakukan kesalahan, menentang adat, menentang agama, merusak kebaikan, mengganggu agama leluhur. Tuan dapat disiksa dan dibuang ke Menado."
Sunan Bonang tak menggubris. Ia berkata :
" Dadap ini bunganya kunamai celung, buahnya bernama kledung, karena aku kecelung ( sesat ) pemikiran dan salah bicara. Jadi saksi ketika aku berdebat dengan hantu, kalah pengetahuan dan pemikiran. Sudah, aku akan pulang ke Bonang."
Buta Locaya berkata,
" Ya sudah, silakan tuan pergi. Di sini tak ayal akan membikin panas. Bila terlalu lama di sini akan menimbulkan kesusahan, menyebabkan mahal air, dan mengurangi air."
PEMBUNUHAN SYECH SITI JENAR
Prabu Brawijaya amat murka ketika mendapat laporan sang patih tentang adanya surat dari Tumenggung di Kertosono, yang memberitahukan bahwa telah terjadi kerusakan di wilayah itu akibat ulah Sunan Bonang. Segera ia mengutus Patih ke Kertosono, meneliti keadaan sebenarnya. Setelah tiba, sang patih melaporkan semua yang telah terjadi. Namun, ia tak bisa menemukan Sunan Bonang, karena telah mengembara tak tahu kemana.
Saking murkanya, Prabu Brawijaya mengharuskan semua ulama Arab yang ada di Pulau Jawa pergi. Hanya di Demak dan Ngampelgading saja yang diperbolehkan tinggal dan menyebarkan agama Islam. Apabila menolak akan dibunuh.
Pernyataan tersebut juga dibenarkan oleh patihnya, karena ulama Giripura telah tiga tahun tidak menghadap untuk menyampaikan upeti, bahkan mendirikan kerajaan sendiri. Sedang ulama santri Giri punya gelar yang melebihi sang Prabu. Maka, diseranglah Giri hingga kocar-kacir.
Menyadari kekeliruannya karena tidak menghadap Prabu Brawijaya di Majalengka, Sunan Bonang mengajak Sunan Giri ke Demak. Di sana, mereka menyatu dengan pasukan Adipati Demak (putera PB alias Raden Patah) dan mengajak menyerbu ke Majalengka.
Kata Sunan Bonang,
"Ketahuilah, kini saatnya kehancuran kerajaan Majalengka yang telah berumur 103 tahun. Menurut pertimbanganku, kamulah yang berhak menjadi Raja. Rusaklah Kraton Majalengka dengan cara halus. Jangan sampai ketahuan. Menghadaplah ke Ayahandamu pada acara Grebeg Maulud dengan senjata perang. Ajaklah seluruh Bupati dan para Sunan beserta bala tentaranya."
Adipati Demak yang memang putra Prabu Brawijaya semula tidak mau mengikuti saran Sunan Bonang.
" Saya takut merusak negeri Majalengka. Melawan ayah, apalagi melawan seorang raja yang telah memberikan kebahagian dan kebaikan di dunia. Kata kakek saya di Ampelgading, saya tidak boleh melawan ayahanda meski beragama Budha atau pun kafir."
Mendengar jawaban demikian, Sunan Bonang berkata,
" Meskipun melawan ayah dan raja, tidak ada jeleknya kerena dia kafir. Merusak kafir tua kamu akan masuk surga. Kakekmu itu santri yang iri, gundul dan bodoh tak bernalar. Seberapakah pengetahuan santri Ngampelgading. Anak kelahiran Campa tak mungkin menyamaiku, Sayid Kramat, Sunan Bonang yang dipujikan manusia sedunia, keturunan rasul anutan semua umat Islam. Meski kamu dosa, toh hanya kepada satu orang. Tetapi, semua manusia se Jawa masuk Islam. Hal demikian, alangkah banyaknya pahala yang kau terima.
Tuhan masih cinta kepadamu. Sesungguhnya, orang tuamu itu menyia-nyiakan dirimu. Buktinya, kamu diberi nama Babah. Babah itu artinya tidak baik. Hidup hanya untuk mati. Benih Jawa yang dibawa Putri Cina. Maka ibumu diberikan kepada Arya Damar, Bupati Palembang, orang keturunan raksasa. Itu memutus cinta namanya. Ayahmu tetap berhati tidak baik. Karena itu, balaslah dengan halus. Pokoknya jangan kelihatan. Dalam hati, isaplah darahnya, kunyahlah tulangnya."
Kemudian, Sunan Giri menyambung,
" Aku tidak berdosa, dicari ayahmu didakwa mendirikan kerajaan karena aku tidak menghadap ke Majalengka. Katanya, bila aku tertangkap akan diikat rambutku dan disuruh memandikan anjing. Banyak orang Cina yang datang ke Jawa. Di Giri banyak yang ku-Islamkan. Sebab, menurut Qur-an, bila meng-Islamkan orang kafir, kelak mendapatkan surga. Kedatanganku ke sini untuk minta perlindunganmu. Aku takut kepada patih dan ayahmu yang sangat benci kepada santri yang suka berzikir. Katanya, sakit ayan pagi dan sore. Bila kamu tidak membela, rusaklah agama Islam ini."
Jawab sang Adipati Demak,
" Ayahanda memburu tuan itu betul. Karena tuan Sunan mendirikan kraton. Tidak menyadari bahwa hal itu harus tunduk perintah raja yang lebih berkuasa. Maka, sudah sewajarnya bila diburu, dihukum mati, karena Sunan tidak menyadari makan minum di Pulau Jawa."
Namun, Sunan Bonang berkata lagi,
"Jika tidak kau rebut sekarang, kau akan rugi. Setelah ayahmu turun, tahta itu tentu bukan untukmu melainkan diserahkan kepada Adipati Pranaraga karena dia putra paling tua. Atau kepada menantunya, Ki Andayanigrat di Pengging. Kamu anak muda, tidak berhak menjadi raja. Mati melawan kafir mati sabilillah, mati menerima surga. Sudah biasa bagi orang Islam dalam melawan orang kafir. Aku sudah tua, ingin menyaksikan dirimu menjadi raka, merestui kedudukanmu sebagai raja di Jawa, memimpin rakyat Jawa, memulai agama suci, dan menghilangkan agama Budha."
Panjang lebar nasihat Sunan Bonang agar Adipati Demak bangkit amarahnya, dan mau merusak Majalengka. Bahkan, diberi contoh kisah-kisah nabi yang mau melawan orang tuanya karena kafir.
Singkat cerita, tak lama kemudian para sunan dan bupati di pesisir utara datang semua ke Demak. Berkumpul untuk mendirikan masjid. Kemudian sembahyang bersama di masjid yang baru didirikan. Usai sembahyang pintu masjid ditutup. Sunan Bonang berkata kepada semua yang hadir di situ, bahwa Bupati Demak akan dinobatkan sebagai raja dan akan menggempur Majapahit. Bila semua setuju akan segera dimulai. Semua setuju dan para bupati pun setuju.
Hanya Syech Siti Jenar yang tidak setuju. Maka, Sunan Bonang marah dan menghukum mati Syech Siti Jenar. Yang disuruh membunuh adalah Sunan Giri.
Setelah sepakat, Adipati Demak diangkat menjadi raja menguasai tanah Jawa bergelar Senopati Jimbuningrat dengan patih dari atas angin bernama Patih Mangkurat. Esok harinya, Senopati Jimbuningrat bergegas dengan perangkat senjata perang berangkat menuju Majapahit diiringkan para sunan dan bupati. Berjalan berarakan seperti Grebeg Maulud. Semua pasukan tak ada yang mengetahui tujuan itu selain para tumenggung, para sunan dan para ulama.
Sunan Bonang dan Sunan Giri tidak ikut dengan alasan telah lanjut usia. Keduanya hanya akan salat di dalam masjid dan merestui perjalanan. Bagaimana cerita di perjalanan tidak dijelaskan panjang lebar.
PERANG BUDHA MAJAPAHIT VS ISLAM DEMAK
Alkisah, sepulang dari Giri, sang patih melaporkan hasil penaklukan terhadap Giri yang dipimpin oleh orang Cina beragama Islam bernama Setyasena. Ia membawa senjata pedang bertangkai panjang. Pasukannya berjumlah tiga ratus yang pandai bersilat dengan kumis panjang berkepala gundul, berpakaian serba seperti haji.
Dalam berperang mereka lincah seperti belalang. Sementara pasukan Majapahit menembaki. Akibatnya, pasukan Giri tampak jatuh berjumpalitan tidak mampu menerima peluru. Senapati Setyasena menemui ajal.
Pasukan Giri melarikan diri ke hutan dan gunung. Sebagian juga berlayar dan lari ke Bonang dan terus diburu oleh pasukan Majapahit. Sunan Giri dan Sunan Bonang yang ikut dalam perahu itu dikira melarikan diri ke Arab dan tidak kembali ke Majapahit.
Maka Sang Prabu memerintahkan patih untuk mengutus ke Demak lagi, memburu Sunan Giri dan Sunan Bonang karena Sunan Bonang telah merusak tanah Kertosono. Sedangkan Sunan Giri telah memberontak, tidak mau menghadap raja, bertekat melawan dengan perang.
Sang Patih keluar dari hadapan Raja untuk kemudian memanggil duta yang akan dikirim ke Demak. Tetapi, tiba-tiba datang utusan dari Bupati Pati menyerahkan surat terkenal (Menak Tanjangpura), mengabarkan bahwa Adipati Demak Babah Patah telah menobatkan diri sebagai Raja Demak.
Sedangkan yang mendorong penobatan itu adalah Sunan Bonang dan Sunan Giri. Para Bupati di Pesisir Utara dan semua kawan yang sudah masuk Islam mendukung. Raja baru itu bergelar Prabu Jimbuningrat atau Sultan Syah Alam Akbar Khalifaturrasul Amirilmukminin Tajudil Abdulhamid Khak, atau Sultan Adi Surya Alam di Bintoro.
Pasukannya berjumlah tiga puluh ribu lengkap dengan senjata perang, terserah kepada Patih cara menghadap kepada raja. Surat dari Pati itu bertanggal 3 Maulud tahun Jimakir 1303 masa kesembilan wuku Prabangkat. Kyai Patih sedih sekali, menggeram sambil mengatupkan giginya.
Sangat heran kepada orang Islam yang tidak menyadari kebaikan sang raja. Selanjutnya, kyai patih melapor kapada raja untuk menyampaikan isi surat itu.
Mendengan laporan patih, Sang Prabu sangat terkejut. Diam membisu, lama tak berkata. Dalam hatinya sangat heran kepada putranya dan para Sunan yang memiliki kemauan seperti itu. Mereka diberi kedudukan akhirnya malah memberontak dan merusak Majapahit.
Sang raja tak habis pikir, alasan apa yang mendasari perbuatan mereka. Dicarinya penalaran-penalaran tetapi tidak tercapai lahir batin. Tidak masuk akal akan perbuatan jelek mereka itu.
Pikiran sang raja sangat gelap. Kesedihan itu dikiaskan bagaikan hati kerbau yang habis dimakan kutu babi hutan. Sang Prabu juga bertanya kepada sang Patih, apa alasan Adipati Demak dan para ulama serta bupati tega melawan Majapahit. Patih pun menjawab tak mengerti. Ki Patih juga heran, pemikiran orang Islam ternyata tidak baik, diberi kebaikan membalas dengan kejahatan.
Kemudian, Sang Prabu berkata bahwa, kejadian itu akibat kesalahannya sendiri. Yang meremehkan agama yang telah berlaku turun-temurun dan begitu mudah terpikat kata-kata Putri Campa, sehingga mengizinkan para ulama menyebarkan agama Islam.
Dari kebingungan hatinya, ia menyumpahi orang-orang Islam.
" Kumohonkan kepada Dewa yang Agung, balaslah kesedihan hamba. Orang-orang Islam kelak terbaliklah agamanya, menjelma menjadi orang-orang kucir, karena tak tahu kebaikan. Kuberi kebaikan membalas dengan kejahatan."
Sabda sang raja yang berada dalam kesedihan itu disaksikan oleh jagad. Terbukti dengan adanya suara menggeletar membelah bumi. Terkenal sampai sekarang, ulama terbaik namanya, tengkuknya dikucir putih.
Tentang kedatangan musuh, yaitu santri yang akan merebut kekuasaan, Sang Prabu meminta pertimbangan dari Patih. Sang Prabu kecewa, mengapa hanya untuk menguasai Majapahit harus dengan cara peperangan. Seumpama diminta dengan cara baik-baik pun tentu akan diberikan karena Raja telah lanjut usia.
Patih menjawab, lebih baik menyongsong musuh dengan pasukan secukupnya saja. Jangan sampai merusak bala pasukan. Patih diminta memanggil Adipati Pengging dan Adipati Pranaraga karena putra yang ada di Majapahit belum saatnya maju berperang.
Setelah memerintahkan demikian, sang Prabu meloloskan diri pergi ke Bali diikuti Sabdopalon dan Nayagenggong. Ketika memberi perintah itu, Pasukan Demak telah mengepung istana. Maka Sang Raja segera pergi dengan terburu-buru.
Wadya Demak kemudian perang dengan pasukan Majapahit. Patih Majapahit mengamuk di tengah peperangan. Para Bupati Nayaka Majapahit delapan orang juga ikut mengamuk. Perang itu sangat ramai. Pasukan Demak tiga puluh ribu, pasukan Majapahit hanya tiga ribu. Karena Majapahit digulung musuh yang jumlahnya sekian banyak itu, prajuritnya banyak yang tewas berguguran. Hanya Patih dan Bupati Nayaka yang mengamuk semakin maju. Setiap prajurit Demak yang diterjang pasti mati tegelempang. Putra Sang Prabu bernama Raden Lembu Pangarsa mengamuk di tengah peperangan, bertanding denganSunan Kudus. Ketika sedang ramai-ramainya perang tanding itu, Patih Mangkurat dari Demak meluncurkan tombaknya. Putra raja terluka dan semakin hebat mengamuk. Ia menerjang bagaikan banteng terluka, tidak ada yang ditakuti.
Patih Majapahit tidak mempan senjata apapun, seperti tugu baja, tidak ada senjata yang bisa menggores tubuhnya, siapa pun yang diterjang bubar berlarian, yang menghadang terjungkal mampus. Bangkai manusia tumpang tindih. Patih diberondong (peluru) dari kejauhan. Jatuhnya peluru seperti hujan jatuh di batu watu. Sunan Ngundung menghadang kemudian memedangnya tetapi tidak mempan. Sunan Ngundung balas ditombak, tewas. Patih lalu dikerubuti prajurit Demak. Pasukan Majapahit lama-lama habis. Seberapa kuat satu orang sendirian, akhirnya Patih Majapahit gugur. Tetapi raganya musnah dan meninggalkan suara,“Ingat-ingat orang Islam, kalian diberi kebaikan oleh rajaku tetapi membalas kejahatan, tega merusak negara Majapahit, merebut negara melakukan pembunuhan. Kelak kubalas, kuajari kalian benar salah, kutiup kepala kalian, kucukur rambut kalian bersih-bersih.”
Setewasnya Patih Majapahit, para Sunan kemudian masuk ke istana. Tetapi Sang Prabu sudah tidak ada, yang ada hanya Ratu Mas, yaitu putri Campa, Sang Putri diajak menyingkir ke Bonang. Para prajurit Demak kemudian masuk ke istana. Mereka merampok sampai bersih. Orang kampung tidak ada yang berani melawan. Raden Gugur yang masih kecil melarikan diri. Adipati Terung kemudian masuk ke dalam istana, membakari semua buku-buku ajaran Buddha. Orang-orang di sekeliling istana bubar, beteng dan bangsal dijaga anak buah Adipati Terung. Orang Majapahit yang tidak mau takhluk kemudian mengungsi ke gunung dan hutan-hutan. Adapun yang mau takhluk, kemudian dikumpulkan dengan orang Islam, disuruh bersyahadat. Mayat para keluarga istana dan pamong praja dikumpulkan, dikubur di sebelah tenggara istana. Kuburan tadi dinamakan Bratalaya. Menurut suatu riwayat disitu juga kuburan Raden Lembu Pangrasa.
NASEHAT NYAI AGENG KEPADA RADEN PATAH
Sesudah tiga hari, Sultan Demak berangkat ke Ampel. Adapun yang ditugaskan menunggu di Majapahit adalah Patih Mangkurat serta Adipati Terung. Mereka diperintahkan menjaga keamanan keadaan dan segala kemungkinan yang terjadi. Sunan Kudus menjaga di Demak menjadi wakil Sang Prabu. Di Kabupaten Terung juga dijaga ulama tiga ratus, setiap malam mereka shalat hajat serta tadarus Al Qur’an. Sebagian pasukan dan para Sunan ikut Sang Prabu ke Ampelgading. Sunan Ampel sudah wafat, hanya tinggal istrinya. Istri beliau asli dari Tuban, putra Arya Teja. Setelah wafatnya Sunan Ampel, Nyai Ageng menjadi sesepuh orang Ampel. Sang Prabu Jambuningrat (Raden Patah) sesampainya di Ampel, kemudian menghaturkan sembah kepada Nyai Ageng. Para Sunan dan para Bupati berganti-ganti menghaturkan sembah kepada Nyai Ageng. Prabu Jimbuningrat berkata bahwa dirinya baru saja menyerbu majapahit, dan melaporkan hilangnya ayahanda serta Raden Gugur. Ia juga melaporkan kematian Patih Majapahit dan berkata bahwa dirinya sudah menjadi raja seluruh tanah Jawa bergelar Senapati Jimbun. Beliau meminta restu, agar langgeng bertahta dan anak keturunannya nanti jangan ada yang memotong.
Nyai Ageng Ampel mendengar perkataan Prabu Jimbun, menangis seraya merangkul Sang Prabu. Hati Nyai Ageng tersayat-sayat perih. Demikian ia berkata “Cucuku, kamu dosa tiga hal. Melawan raja dan orang tuamu, serta yang memberi kedudukan sebagai bupati. Mengapa kamu tega merusak tanpa kesalahan. Apa tidak ingat kebaikan Uwa Prabu Brawijaya? Para ulama diberi kedudukan dan sudah membuahkan rizki sebagai sumber makannya, serta diberi kemudahan dan dibebaskan menyebarkan agama? Seharusnya kamu sangat berterima kasih, tapi akhirnya malah kamu balas kejahatan, kini mati hidupnya beliau pun tidak ada yang tahu.”
Nyai Ageng kemudian menanyai Sang Prabu, katanya, “Angger ! Aku akan bertanya kepada kamu, jawablah sebenarnya, ayahandamu yang benar itu siapa? Siapa yang mengangkat kamu menjadi raja di tanah Jawa dan siapa yang mengizinkan kamu? Apa sebabnya kamu menganiaya orang tanpa dosa?”
Raden Patah kemudian menjawab, bahwa Prabu Brawijaya adalah benar-benar ayahandanya yang mengangkat dirinya menjadi raja memangku tanah Jawa dan semua bupati pesisir, dan yang mengizinkan para Sunan. Mengapa negara majapahit dirusak, karena Sang Prabu Brawijaya tidak berkenan masuk agama Islam, masih mempercayai agama kafir, Buda kawak dawuk seperti kuwuk.
Nyai Ageng mendengar jawaban Prabu Jimbun, kemudian menjerit seraya merangkul Sang Prabu, dengan berkata, “Angger! Ketahuilah, kamu itu dosa tiga hal mestinya kamu dikutuk oleh Gusti Allah. Kamu berani melawan Raja lagi pula orang tuamu sendiri, serta orang yang memberi anugrah kepada kamu. Kamu beran-beraninya mengganggu orang tanpa dosa. Adanya Islam dan kafir siapa yang menentukan, selain hanya Gusti Allah sendiri. Orang beragama itu tidak boleh dipaksa, harus keluar dari keinginan diri sendiri. Orang yang kukuh memegang agamanya sampai mati itu utama. Apabila Gusti Allah sudah mengizinkan, tidak usah disuruh, sudah pasti dengan sendirinya memeluk agama Islam. Gusti Allah bersifat rahman, tidak memerintahkan dan tidak menghalangi kepada orang beragama. Semua ini atas kehendaknya sendiri-sendiri.
Gusti Allah tidak menyiksa orang kafir yang tidak bersalah, serta tidak memberi ganjaran kepada orang Islam yang bertindak tidak benar, hanya benar dan salah yang diadili dengan keadilan. Ingat-ingatlah asal-asalmu, ibu-mu Putri Cempa menyembah Pikkong, berwujud kertas atau patung batu. Kamu tidak boleh benci kepada orang yang beragama Buddha. Matamu itu berkacalah, agar tidak blero penglihatanmu, tidak tahu yang benar dan yang salah. Katanya anaknya Sang Prabu, kok tega menelan kepada ayahanda sendiri. Bisa-bisanya sampai hati merusak tata krama. Berbeda matanya orang Jawa. Orang Jawa matanya hanya satu, maka ia menjadi tahu benar dan salah, tahu yang baik dan yang buruk, pasti hormat kepada ayah, kedua kepada raja yang memberi anugrah, ia wajib dijunjung tinggi.
Ikhlasnya hati bakti kepada ayah, tidak berbakti kepada orang kafir, karena sudah kewajiban manusia berbakti kepada orang tuanya. Kamu aku dongengi, Wong Agung Kuparman, itu beragama Islam, punya mertua kafir, mertuanya benci kepada Wong Agung karena lain agama, mertuanya selalu mencari cara agar menantunya mati. Tetapi Wong Agung selalu hormat dan sangat menjunjung tinggi kedua orang tuanya. Ia tidak memandang orang tua dari segi kekafirannya, tetapi posisinya sebagai orangtuanya. Maka Wong Agung selalu menjunjung hormat kepaa mertuanya itu. Itulah angger yang dinamakan orang berbudi baik. Tidak seperti tekadmu, ayahanda disia-siakan, mentang-mentang kafir Buddha tidak mau berganti agama. Itu bukan patokanmu. Aku akan bertanya sekarang, apakah kamu sudah memohon kepada orang tuamu, agar beliau pindah agama? Mengapa negaranya sampai kamu rusak itu bagaimana?
Prabu Jimbun berkata, bahwa ia belum memohon pindah agama, sesampainya di Majapahit langsung saja mengepung. Nyai Ageng Ampel tersenyum sinis dan berkata, “Tindakanmu itu makin salah. Para Nabi di jaman kuno, ia berani kepada orang tuanya itu karena setiap hari sudah mengajak berpindah agama, bahkan sudah ditunjukkan mukjizat kepadanya, tetapi tidak berkenan. Karena setiap hari sudah dimohon agar memeluk agama Islam, tetapi ajakan tadi tidak dipikirkan, masih melestarikan agama lama, maka kemudian dimusuhi. Jika demikian caranya, meskipun melawan orang tua, lahir batin tidak salah. Tapi orang seperti kamu? Mukjizatmu apa? Apabila benar Khalifatullah berwenang mengganti agama, coba keluarkan apa mukjizatmu, aku lihat?”
Prabu Jimbun mengakui bahwa ia tidak memiliki mukjizat apa-apa, hanya menurut perkataan buku, katanya apabila mengislamkan orang kafir besok akan mendapat ganjaran surga. Nyai Ageng Ampel tersenyum tetapi tambah amarahnya. Kata-kata saja kok dipercayai, pun bukan buku dari leluhur. Orang mengembara kok dituruti perkataanya, yang mendapat celaka ya kamu sendiri. Itu pertanda ternyata masih mentah pengetahuanmu. Berani kepada orang tua, karena keinginanmu menjadi raja, kesusahannya tidak dipikir. Kamu itu bukan santri yang tahu sopan santun, hanya mengandalkan surban putih, tetapi putihnya kuntul, yang putih hanya di luar, di dalam merah. Ketika kakekmu masih hidup, kamu pernah berkata bila akan merusak Majapahit, kakekmu melarang. Malah berpesan dengan sungguh-sungguh jangan sampai memusuhi orang tua. Sekarang kakekmu sudah wafat, wasiatnya kamu langgar. Kamu tidak takut akibatnya? Kini kamu minta izin kepadaku, untuk menjadi raja di tanah Jawa, aku tidak berwenang mengizinkan, aku rakyat kecil dan hanya perempuan, nanti buwana balik namanya. Karena kamu yang semestinya memberi izin kepadaku, karena kamu Khalifutullah di tanah Jawa, hanya kamu sendiri yang tahu, seluruh kata-katamu lidah api. Aku sudah tuwa tiwas, sedangkan jika kamu nanti tia, akan tetap menjadi tuanya seorang raja.”
Nyai Ageng Ampel berkata lagi, “Cucu! Kamu aku ceritakan sebuah kisah, dalam Kitab Hikayat diceritakan di tanah Mesir, Kanjeng Nabi Dawud, putranya menginginkan tahta ayahandanya. Nabi Dawud sampai mengungsi dari negara, putranya kemudian menggantikannya menjadi raja. Tidak lama kemudian Nabi Dawud bisa kembali merebut negaranya. Putranya naik kuda melarikan diri kehutan, kudanya lepas tersangkut-sangkut pepohonnan, sampai ia tersangkut tergantung di pohon. Itulah yang dinamakan hukum Allah.
Ada lagi cerita Sang Prabu Dewata Cengkar, ia memburu-buru tahta ayahandanya, tetapi kemudian dikutuk oleh ayahandanya kemudian menjadi raksasa, setiap hari makan manusia. Tidak lama kemudian, ada Brahmara dari tanah seberang datang ke Jawa bernama Aji Saka. Aji Saka memamerkan ilmu sulap di tanah Jawa. Orang jawa banyak yang cinta kepada aji Saka, dan benci kepada Dewata Cengkar. Ajisaka diangkat menjadi raja, Dewata Cengkar diperangi sampai terbirit-birit, tercebur ke laut, dan berubah menjadi buaya, tidak lama kemuian mati. Ada lagi cerita di Negara Lokapala juga demikian, Sang Prabu Danaraja berani kepada ayahandanya, hukumnya masih seperti yang kuceritakan tadi, semua menemui sengsara. Apa lagi seperti kamu, memusuhi ayahanda yang tanpa tata susila, kamu pasti celaka, matimu pasti masuk neraka, yang demikian itu hukum Allah”. Sang Prabu Jimbun mendengar kemarahan eyang putrinya menjadi sangat menyesal di hati, tetapi semua sudah terjadi.
Nyai Ageng Ampel masih meneruskan, “Kamu itu dijerumuskan oleh para ulama dan para Bupati. Tapi kamu koq mau menjalani, yang mendapat celaka hanya kamu sendiri, lagi pula kehilangan ayah, selama hidup namamu buruk, bisa menang perang tetapi musuh orang tua raja. Karena itu bertobatlah kepada Yang Maha Kuasa, kiraku tidak bakal memperoleh pengampunan. Pertama memusuhi ayah sendiri, kedua membelot kepada Raja, ketiga merusak kebaikan dan merusak negara tanpa tahu adat. Adipati Ponorogo dan Adipati Penging pasti tidak akan menerima rusaknya Majapahit, pasti ia akan membela kepada ayahnya, itu saja sudah berat tanggunganmu.”
Nyai Ageng tumpah-ruah meluapkan amarahnya kepada Prabu Jimbun. Setelah itu, Sang Prabu diperintahkan kembali ke Demak, serta diperintahkan agar mencari hilangnya ayahandanya. Apabila sudah bertemu dimohon pulang kembali ke Majapahit, dan ajaklah mampir ke Ampelgading. Akan tetapi apabila tidak berkenan, jangan dipaksa, karena jika sampai marah maka ia akan mengutuk, kutukannya pasti makbul.
PRABU JIMBUN (RADEN PATAH) KEMBALI KE DEMAK
Setelah Prabu Jimbun tiba di Demak, para pengikutnya menyambutnya dengan gembira dan berpesta ria. Para santri bermain rebana dan berdzikir, mengucap syukur dan sangat gembira atas kemenangan mereka dan kepulangan Sang Prabu Jimbun atau Raden Patah.
Sunan Bonang menyambut kepulangan Sang Prabu Jimbun. Sang Raja kemudian melaporkan kepada Sunan Bonang bahwa Majapahit telah jatuh, buku-buku agama Buddha sudah dibakari semua, serta melaporkan kalau ayahandanya dan Raden Gugur lolos. Patih Majapahit tewas di tengah peperangan, Putri Cempa sudah diajak menugungsi ke Bonang.
Pasukan Majapahit yang sudah takhluk kemudian disuruh masuk Islam. Sunan Bonang mendengar laporan Sang Prabu Jimbun, tersenyum sambil mengangguk-angguk. Ia mengatakan peristiwa itu cocok dengan perkiraan batinnya. Sang Prabu melaporkan bahwa ia telah mampir ke Ampeldenta (pesantren Ampel Gading) untuk menghadap Eyang Nyai Ageng Ampel. Kepada Eyang Nyai Ageng Ampel ia mengatakan kalau baru saja dari Majapahit, serta memohon izin bertahta menjadi raja tanah Jawa. Akan tetapi di Ampel ia malah dimarahi dan diumpat-umpat. Ia dikatakan tidak tahu membalas kebaikan Sang Prabu Brawijaya. Akhirnya ia diperintahkan supaya mencari dan mohon ampun kepada ayahandanya. Semua kemarahan Nyai Ageng Ampel dilaporkan kepada Sunan Bonang.
Mendengar hal itu Sunan Bonang, dalam batin merasa menyesal dan bersalah karena khilaf akan kebaikan Prabu Brawijaya. Rasa yang demikian tadi ditutupi dengan pura-pura menyalahkan Prabu Brawijaya dan Patihnya, karena tidak mau pindah agama Islam.
Sunan Bonang mengatakan agar perintah Nyai Ageng Ampel tidak perlu dipikirkan benar, karena pertimbangan wanita pasti kurang sempurna, lebih baik penghancuran Majapahit dilanjutkan. Jika Prabu Jimbun menuruti perintah Nyai Ampeldanta, Sunan Bonang lebih baik akan pulang ke Arab. Akhirnya Prabu Jimbun berjanji kepada Sunan Bonang untuk tidak menjalani perintah Nyai Ampel.
Sunan Bonang memerintahkan kepada Sang Prabu, jika ayahandanya memaksa pulang ke Majapahit, Sang Prabu Brawijaya diperintahkan menghadap dan meminta ampun akan semua kesalahannya. Akan tetapi bila beliau ingin bertahta lagi, jangan di tanah Jawa, karena pasti akan mengganggu orang yang pindah ke agama Islam. Ia disuruh bertahta di negara lain di luar Jawa.
Sunan Giri kemudian menyambung, agar tidak menganggu pengislaman Jawa, Prabu Brawijaya dan putranya lebih baik di tenung saja. Karena membunuh orang kafir itu tidak ada dosanya. Sunan Bonang serta Prabu Jimbun sudah mengamini pendapat Sunan Giri yang demikian tadi.
PENCARIAN PRABU BRAWIJAYA OLEH SUNAN KALIJAGA.
Prabu Jimbun akhirnya memerintahkan Sunan Kalijaga untuk mencari ayahnya dan membujuknya dengan cara baik-baik, mungkin dengan pertimbangan bahwa ayahnya masih memiliki kekuatan, yaitu kedua anak lainnya Adipati Ponorogo dan Adipati Penging masih berkuasa di wilayahnya masing-masing dan kalau sampai Prabu Brawijaya berhasil sampai ke Bali, maka ia dapat meminta bantuan raja Bali untuk menyerang balik.
Sunan Kalijaga dalam perjalanan mencari Prabu Brawijaya, hanya diantar dua sahabat. Perjalanannya terlunta-lunta. Tiap desa dihampiri untuk mencari informasi. Perjalanan Sunan Kalijaga melewati pesisir timur Pulau Jawa, menurutkan bekas jalan-jalan yang dilalui Prabu Brawijaya.
Ternyata Prabu Brawijaya telah sampailah di Blambangan. Karena merasa lelah kemudian ia berhenti di pinggir mata air. Waktu itu pikiran Sang Prabu benar-benar gelap. Yang ada di hadapannya hanya abdi berdua, yaitu Nayagenggong dan Sabdapalon. Kedua abdi tadi tidak pernah bercanda dan memikirkan peristiwa yang baru terjadi.
Tidak lama kemudian Sunan Kalijaga berhasil menjumpainya. Sunan Kalijaga bersujud menyembah di kaki Sang Prabu. Sang Prabu kemudian bertanya kepada Sunan Kalijaga,
“Sahid! Kamu datang ada apa? Apa perlunya mengikuti aku?”
Sunan Kalijaga berkata,
“Hamba diutus putra Paduka, untuk mencari dan menghaturkan sembah sujud kepada Paduka dimanapun bertemu. Beliau memohon ampun atas kekhilafannya, sampai lancang berani merebut tahta Paduka, karena terlena oleh darah mudanya yang tidak tahu tata krama ingin menduduki tahta memerintah negeri, disembah para bupati. Sekarang putra Paduka sangat merasa bersalah.
Adapun ayahanda Raja Agung yang menaikkan dan memberi derajat Adipati di Demak, tak mungkin bisa membalas kebajikan Paduka, Kini putra Paduka ingat, bahwa Paduka lolos dari istana tidak karuan dimana tinggalnya. Karena itu putra Paduka merasa pasti akan mendapat kutukan Tuhan. Karena itulah hamba yang lemah ini diutus utk mencari dimana Paduka berada. Jika bertemu mohon kembali pulang ke Majapahit, tetaplah menjadi raja seperti sedia kala, memangku mahligai istana dijunjung para punggawa, menjadi pusaka dan pedoman yang dijunjung tinggi para anak cucu dan para sanak keluarga, dihormati dan dimintai restu keselamatan semua yang di bumi.
Jika Paduka berkenan pulang, putra Paduka akan menyerahkan tahta Paduka Raja. Putra Paduka menyerahkan hidup dan mati. Itu pun jika Paduka berkenan. Putra Paduka hanya memohon ampunan Paduka atas kekhilafan dan memohon tetap sebagai Adipati Demak saja. Adapun apabila Paduka tidak berkenan memegang tahta lagi, Paduka inginkan beristirahat dimana, menurut kesenangan Paduka, di gunung mana Paduka ingin tinggal, putra Paduka memberi busana dan makanan untuk Paduka, tetapi memohon pusaka Kraton d tanah Jawa, diminta dengan tulus.”
Sang Prabu Brawijaya bersabda,
“Aku sudah dengar kata-katamu, Sahid! Tetapi aku tidak gagas! Aku sudah muak bicara dengan santri! Mereka bicara dengan mata tujuh, lamis semua, maka blero matanya! Menunduk di muka tetapi memukul di belakang. Kata-katanya hanya manis di bibir, batinnya meraup pasir ditaburkan ke mata, agar buta mataku ini. Dulu-dulu aku beri hati, tapi balasannya seperti kenyang buntut ! Apa coba salahku? Mengapa negaraku dirusak tanpa kesalahan? Tanpa adat dan tata cara manusia, mengajak perang tanpa tantangan! Apakah mereka memakai tatanan babi, lupa dengan aturan manusia yang utama!”
Setelah mendengar bersabda Sang Prabu, Sunan Kalijaga merasa sangat bersalah karena telah ikut menyerang Majapahit. Ia menarik nafas dalam dan sangat menyesal. Namun yang semua telah terjadi. Maka kemudian ia berkata lembut,
“Mudah-mudahan kemarahan Paduka kepada putra Paduka, menjadi jimat yang dipegang erat, diikat dipucuk rambut, dimasukkan dalam ubun-ubun, menambahi cahaya nubuwat yang bening, untuk keselamatan putra cucu Paduka semua. Karena semua telah terjadi, apalagi yang dimohon lagi, kecuali hanya ampunan Paduka. Sekarang paduka hendak pergi ke mana?”
Sang Prabu Brawijaya berkata,
“Sekarang aku akan ke Pulau Bali, bertemu dengan Prabu Dewa Agung di Kelungkung. Aku akan beri tahu tingkah si Patah, menyia-nyiakan orang tua tanpa dosa, dan hendak kuminta menggalang para raja sekitar Jawa untuk mengambil kembali tahta Majapahit. Adipati Palembang akan kuberi tahu bahwa kedua anaknya sesampai di tanah Jawa yang aku angkat menjadi Bupati, tetapi tidak tahu aturan. Ia berani memusuhi ayah dan rajanya. Aku akan minta kerelaannya untuk aku bunuh kedua anaknya sekaligus, sebab pertama durhaka kepada ayah dan kedua kepada raja.
Aku juga hendak memberitahu kepada Hongte di Cina, bahwa putrinya yang menjadi istriku punya anak laki-laki satu, tetapi tidak tahu jalan, berani durhaka kepada ayah raja. Ia juga kuminta kerelaan cucunya hendak aku bunuh, aku minta bantuan prajurit Cina untuk perang. Akan kuminta agar datang di negeri Bali. Apabila sudah siap semua prajurit, serta ingat kepada kebaikanku, dan punya belas kasih kepada orang tua ini, pasti akan datang di Bali siap dengan perlengkapan perang. Aku ajak menyerang tanah Jawa merebut istanaku. Biarlah terjadi perang besar ayah melawan anak. Aku tidak malu, karena aku tidak memulai kejahatan dan meninggalkan tata cara yang mulia.”
Sunan Kalijaga sangat prihatin. Ia berkata dalam hati,
“Tidak salah dengan dugaan Nyai Ageng Ampelgading, bahwa Eyang Bungkuk masih gagah mengangkangi negara, tidak tahu diri, kulit kisut punggung wungkuk. Jika beliau dibiarkan sampai menyeberang ke Pulau Bali, pasti akan ada perang besar dan pasukan Demak pasti kalah karena dalam posisi salah, memusuhi raja dan bapa, ketiga pemberi anugerah. Sudah pasti orang jawa yang belum Islam akan membela raja tua, bersiaga mengangkat senjata.
Akhirnya Sunan Kalijaga berkata pelan,
“Aduh Gusti Prabu! Apabila Paduka nanti tiba di Bali, kemudian memanggil para raja, pasti akan terjadi perang besar. Apakah tidak sayang Negeri Jawa rusak. Sudah dapat dipastikan putra Paduka yang akan celaka, kemudian Paduka bertahta kembali menjadi raja, tapi tidak lama kemudian lengser keprabon. Tahta Jawa lalu diambil oleh bukan darah keturunan Paduka. Jika terjadi demikian ibarat serigala berebut bangkai, yang berkelahi terus berkelahi hingga tewas dan semua daging dimakan serigala lainnya.”
Balas sang Prabu :
“Ini semua kehendak Dewata Yang Maha Lebih. Aku ini raja binatara, menepati sumpah sejati, tidak memakai dua mata, hanya menepati satu kebenaran, menurut Hukum dan Undang-Undang para leluhur. Seumpamanya si Patah menganggap aku sebagai bapaknya, lalu ingin menjadi raja, diminta dengan baik-baik, istana tana Jawa ini akan kuberikan dengan baik-baik pula. Aku sudah tua renta, sudah kenyang menjadi raja, menerima menjadi pendeta bertafakur di gunung. Sedangkan si Patah meng-aniaya kepadaku. Pastilah aku tidak rela tanah Jawa dirajainya. Bagaimana pertanggungjawabanku kepada rakyatku di belakang hari nanti?”
Mendengar kemarahan Sang Prabu yang tak tertahankan lagi, Sunan Kalijaga merasa tidak bisa meredakan lagi, maka kemudian beliau menyembah kaki Sang Prabu sambil menyerahkan kerisnya dengan berkata, apabila Sang Prabu tidak bersedia mengikuti sarannya, maka ia mohon agar dibunuh saja, karena akan malu mengetahui peristiwa yang menjijikkan itu.
Sang Prabu melihat tingkah Sunan Kalijaga yang demikian tadi, hatinya tersentuh juga. Sampai lama beliau tidak berkata selalu mengambil nafas dalam-dalam dengan meneteskan air mata. Berat sabdanya,
“Sahid! Duduklah dahulu. Kupikirkan baik-baik, kupertimbangkan saranmu, benar dan salahnya, baik dan buruknya, karena aku khawatir apabila kata-katamu itu bohong saja. Ketahuilah Sahid! Seumpama aku pulang ke Majapahit, si Patah menghadap kepadaku, bencinya tidak bisa sembuh karena punya ayah Buda kawak kafir kufur. Lain hari lupa, aku kemudian ditangkap dikebiri, disuruh menunggu pintu belakang. Pagi sore dibokongi sembahyang, apabila tidak tahu kemudian dicuci di kolam digosok dengan ilalang kering.”
Sang Prabu mengeluh kepada Sunan Kalijaga,
“Coba pikirkanlah, Sahid! Alangkah sedih hatiku, orang sudah tua-renta, lemah tidak berdaya koq akan direndam dalam air.”
Sunan Kalijaga memendam senyum dan berkata,
“Mustahil jika demikian, besok hamba yang tanggung, hamba yakin tidak akan tega putra Paduka memperlakukan sia-sia kepada Paduka. Akan halnya masalah agama hanya terserah sekehendak Paduka, namun lebih baik jika Paduka berkenan berganti syariat rasul, dan mengucapkan asma Allah. Akan tetapi jika Paduka tidak berkenan itu tidak masalah. Toh hanya soal agama. Pedoman orang Islam itu syahadat, meskipun salat dingklak-dingkluk jika belum paham syahadat itu juga tetap kafir namanya.”
PERDEBATAN ILAHI PRABU BRAWIJAYA
Sang Prabu berkata, “Syahadat itu seperti apa, aku koq belum tahu, coba ucapkan biar aku dengarkan."
Sunan Kalijaga kemudian mengucapkan syahadat, "asyhadu ala ilaha ilallah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, artinya aku bersaksi, tiada Tuhan selain Allah, dan bersaksi bahwa Kanjeng Nabi Muhammad itu utusan Allah. “
Sunan Kalijaga berkata kepada Sang Prabu,
“Manusia yang menyembah kepada angan-angan saja tapi tidak tahu sifat-Nya maka ia tetap kafir, dan manusia yang menyembah kepada sesuatu yang kelihatan mata, itu menyembah berhala namanya, maka manusia itu perlu mengerti secara lahir dan batin. Manusia mengucap itu harus paham kepada apa yang diucapkan. Adapun maksud Nabi Muhammad Rasulullah adalah itu Muhammad itu makam kuburan. Jadi badan manusia itu tempatnya sekalian rasa yang memuji badan sendiri, tidak memuji Muhammad di Arab.
Badan manusia itu bayangan Dzat Tuhan. Badan jasmani manusia adalah letak rasa. Rasul adalah rasa kang nusuli. Rasa termasuk lesan, rasul naik ke surga, lullah, luluh menjadi lembut. Disebut Rasulullah itu rasa ala ganda salah. Diringkas menjadi satu Muhammad Rasulullah. Yang pertama pengetahuan badan, kedua tahu makanan. Kewajiban manusia menghayati rasa, rasa dan makanan menjadi sebutan Muhammad Rasulullah, maka sembahyang yang berbunyi ushali itu artinya memahami asalnya. Ada pun raga manusia itu asalnya dari ruh idhafi, ruh Muhamad Rasul, artinya Rasul rasa, keluarnya rasa hidup, keluar dari badan yang terbuka, karena asyhadu alla, jika tidak mengetahui artinya syahadat, tidak tahu rukun Islam maka tidak akan mengerti awal kejadian.”
Sunan Kalijaga berkata banyak-banyak sampai Prabu Brawijaya berkenan pindah Islam, setelah itu minta potong rambut kepada Sunan Kalijaga, akan tetapi rambutnya tidak mempan digunting. Sunan Kalijaga lantas berkata, Sang Prabu dimohon Islam lahir batin, karena apabila hanya lahir saja, rambutnya tidak mempan digunting. Sang Prabu kemudian berkata kalau sudah lahir batin, maka rambutnya bisa dipotong.
PERDEBATAN ILAHI BRAWIJAYA DENGAN SABDOPALON (SEMAR)
Sang Prabu setelah potong rambut kemudian berkata kepada Sabdapalon dan Nayagenggong, yang rupanya membiarkan percakapan Sunan Kalijaga dan Prabu Brawijaya.
“Kamu berdua kuberitahu mulai hari ini aku meninggalkan agama Buddha dan memeluk agama Islam. Aku sudah menyebut nama Allah yang sejati. Kalau kalian mau, kalian berdua kuajak pindah agama rasul dan meninggalkan agama Buddha.”
Sabdapalon berkata dengan sedih;
“Hamba ini Ratu Dang Hyang yang menjaga tanah Jawa, Siapa yang bertahta menjadi asuhan hamba. Mulai dari leluhur Paduka dahulu, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrem dan Bambang Sakri, turun-temurun sampai sekarang. Hamba mengasuh penurun raja-raja Jawa.
Hamba jika ingin tidur sampai 200 tahun. Selama hamba tidur selalu ada peperangan saudara, yang nakal membunuh manusia bangsanya sendiri. Sampai sekarang umur hamba sudah 2000 lebih 3 tahun dalam mengasuh raja-raja Jawa. Tidak ada yang berubah agamanya, sejak pertama menempati agama Buddha, baru Paduka yang berani meninggalkan pedoman luhur Jawa.”
Jawa artinya 'tahu'. Mau menerima berarti 'Jawan'. Kalau hanya ikut-ikutan, akan membuat celaka muksa Paduka kelak,” Kata Wikutama yang kemudian disambut halilintar bersahutan.
Sang Prabu bertanya,
“Bagaimana niatanmu, mau apa tidak meninggalkan agama Buddha masuk agama Rasul, lalu menyebut Nabi Muhammad Rasullalah dan nama Allah Yang Sejati?”
Sabdopalon berkata dengan sedih
“Paduka masuklah sendiri. Hamba tidak tega melihat watak sia-sia, seperti manusia Arab itu. Menginjak-injak hukum, menginjak-injak tatanan. Jika hamba pindah agama, pasti akan celaka muksa hamba kelak. Yang mengatakan mulia itu kan orang Arab dan orang Islam semua, memuji diri sendiri.
Kalau hamba mengatakan kurang ajar, memuji kebaikan tetangga mencelakai diri sendiri. Hamba suka agama lama menyebut Dewa Yang Maha Lebih. Dunia itu tubuh Dewata yang bersifat budi dan hawa, sudah menjadi kewajiban manusia itu menurut budi kehendaknya, menjadi tuntas dan tidak mengecewakan, jika menyebut Nabi Muhammad Rasulullah, artinya Muhammad itu makaman kubur, kubur rasa yang salah, hanya men-Tuhan-kan badan jasmani, hanya mementingkan rasa enak, tidak ingat karma dibelakang. Maka nama Muhammad adalah tempat kuburan sekalian rasa.
Ruh idafi artinya tubuh, jika sudah rusak kembali kepada asalnya lagi. Prabu Brawijaya nanti akan pulang kemana. Adam itu sama dengan Hyang Ibrahm, arthinya kebrahen ketika hidupnya, tidak mendapatkan rasa yang benar. Tetapi bangunnya rasa yang berwujud badan dinamai Muhammadun, tempat kuburan rasa. Jasa budi menjadi sifat manusia. Jika diambil Yang Maha Kuasa, tubuh Paduka sifatnya jadi dengan sendirinya.
Orang tua tidak membuat, maka dinamai anak, karena adanya dengan sendirinya, jadinya atas suatu yang ghaib, atas kehendak Lata wal Hujwa, yang meliputi wujud, wujudi sendiri, rusak-rusaknya sendiri, jika diambil oleh Yang Maha Kuasa, hanya tinggal rasa dan amal yang Paduka bawa ke mana saja. Jika nista menjadi setan yang menjaga suatu tempat. Hanya menunggui daging basi yang sudah luluh menjadi tanah. Demikian tadi tidak ada perlunya. Demikian itu karena kurang budi dan pengetahuannya. Ketika hidupnya belum makan buah pohon pengetahuan dan buah pohon budi. Pilih mati menjadi setan, menunggu batu mengharap-harap manusia mengirim sajian dan selamatan. Kelak meninggalkan mujizat Rahmat memberi kutukan kiamat kepada anak cucunya yang tinggal. Manusia mati tidak dalam aturan raja yang sifatnya lahiriah. Sukma pisah dengan budi, jika tekadnya baik akan menerima kemuliaan. Akan tetapi jika tekadnya buruk akan menerima siksaan. Coba Paduka pikir kata hamba itu!”
Prabu berkata
“Kembali kepada asalnya, asal Nur bali kepada Nur”.
Sabdapalon bertutur
“Itu pengetahuan manusia yang bingung, hidupnya merugi, tidak punya pengetahuan ingat, belum menghayati buah pengetahuan dan budi, asal satu mendapat satu. Itu bukan mati yang utama. Mati yang utama itu sewu satus telung puluh. Artinya satus itu putus, telu itu tilas, puluh itu pulih, wujud kembali, wujudnya rusak, tetapi yang rusak hanya yang berasal dari ruh idhafi lapisan, bulan surup pasti dari mana asalnya mulai menjadi manusia. Surup artinya sumurup purwa madya wasana, menepati kedudukan manusia.”
Sang Prabu menjawab,
“Ciptaku menempel pada orang yang lebih.”
Sabdopalon berkata,
“Itu manusia tersesat, seperti kemladeyan menempel di pepohonan besar, tidak punya kemuliaan sendiri hanya numpang. Itu bukan mati yang utama. Tapi matinya manusia nista, sukanya hanya menempel, ikut-ikutan, tidak memiliki sendiri, jika diusir kemudian gentayangan menjadi kuntilanak, kemudian menempel kepada awal mulanya lagi.”
Sang Prabu berkata lagi,
“Aku akan kembali kepada yang suwung, kekosongan, ketika aku belum mewujud apa-apa, demikianlah tujuan kematianku kelak.”
Sabdopalon menjawab,
“Itu matinya manusia tidak berguna, tidak punya iman dan ilmu, ketika hidupnya seperti hewan, hanya makan, minum, dan tidur. Demikian itu hanya bisa gemuk kaya daging. Penting minum dan kencing saja, hilang makna hidup dalam mati.”
Sang Prabu,
“Aku menunggui tempat kubur, apabila sudah hancur luluh menjadi debu.”
Sabdopalon menyambung,
“Itulah matinya manusia bodoh, menjadi setan kuburan, menunggui daging di kuburan, daging yang sudah luluh menjadi tanah, tidak mengerti berganti ruh idhafi baru. Itulah manusia bodoh, ketahuliah. Terima kasih!”
Sang Prabu berkata,
“Aku akan sukma (menghilang) dengan ragaku.”
Sabdopalon tersenyum,
“Kalau orang Islam terang tidak bisa muksa, tidak mampu meringkas makan badannya, gemuk kebanyakan daging. Manusia mati muksa itu celaka, karena mati tetapi tidak meninggalkan jasad. Tidak bersyahadat, tidak mati dan tidak hidup, tidak bisa menjadi ruh idhafi baru, hanya menjadi gunungan demit.”
Sang Prabu,
“Aku tidak punya kehendak apa-apa, tidak bisa memilih, terserah Yang Maha Kuasa.”
Sabdopalon,
“Paduka meninggalkan sifat tidak merasa sebagai titah yang terpuji, meninggalkan kewajiban sebagai manusia. Manusia diwenangkan untuk menolak atau memilih. Jika sudah menerima akan mati, sudah tidak perlu mencari ilmu kemuliaan mati.”
Sang Prabu,
“Keinginanku kembali ke akhirat, masuk surga menghadap Yang Maha Kuasa.”
Sabdopalon berkata,
“Akhirat, surga, sudah Paduka kemana-mana, dunia manusia itu sudah menguasai alam kecil dalam besar. Paduka akan pergi ke akhirat mana? Apa tidak tersesat? Padahal akhirat itu artinya melarat, dimana-mana ada akhirat. Bila mau hamba ingatkan, jangan sampai Paduka mendapat kemelaratan seperti dalam pengadilan negara. Jika salah menjawabnya tentu dihukum, ditangkap, dipaksa kerja berat dan tanpa menerima upah. Masuk akhirat Nusa Srenggi. Nusa artinya anusia, sreng artinya berat sekali, enggi artinya kerja.
Jadi maknanya manusia dipaksa bekerja untuk Ratu Nusa Srenggi. Apa tidak celaka, manusia hidup di dunia demikian tadi, sekeluarganya hanya mendapat beras sekojong tanpa daging, sambal, sayur. Itu perumpamaan akhirat yang kelihatan nyata. Jika akhirat manusia mati malah lebih dari itu, Paduka jangan sampai pulang ke akhirat, jangan sampai masuk ke surga, malah tersesat, banyak binatang yang mengganggu, semua tidur berselimut tanah, hidupnya berkerja dengan paksaan, tidak salah dipaksa.
Paduka jangan sampai menghadap Gusti Allah, karena Gusti Allah itu tidak berwujud tidak berbentuk. Wujudnya hanya asma, meliputi dunia dan akhirat, Paduka belum kenal, kenalnya hanya seperti kenalnya cahaya bintang dan rembulan. Bertemunya cahaya menyala menjadi satu, tidak pisah tidak kumpul, jauhnya tanpa batasan, dekat tidak bertemu. Saya tidak tahan dekat apalagi Paduka, Kanjenga Nabi Musa toh tidak tahan melihat Gusti Allah. Maka Allah tidak kelihatan, hanya Dzatnya yang meliputi semua makhluk. Paduka bibit ruhani, bukan jenis malaikat. Manusia raganya berasal dari nutfah, menghadap Hyang Lata wal Hujwa. Jika sudah lama, minta yang baru, tidak bolak-balik. Itulah mati hidup.
Orang yang hidup adalah jika nafasnya masih berjalan, hidup yang langgeng, tidak berubah tidak bergeser, yang mati hanya raganya, tidak merasakan kenikmatan, maka bagi manusia Buda, jika raganya sudah tua, sukmanya pun keluar minta ganti yang baik, melebihi yang sudah tua. Nutfah jangan sampai berubah dari dunianya. Dunia manusia itu langgeng, tidak berubah-ubah, yang berubah itu tempat rasa dan raga yang berasal dari ruh idhafi.
Prabu Brawijaya itu tidak muda tidak tua, tetapi langgeng berada di tengah dunianya, berjalan tidak berubah dari tempatnya di gua hasrat cipta yang hening. Bawalah bekalmu, bekal untuk makan raga. Apapun milik kita akan hilang, berkumpul dan berpisah. Denyut jantung sebelah kiri adalah rasa, cipta letaknya di langit-langit mulut. Itu akhir pengetahuan. Pengetahuan manusia beragama Buda. Ruh berjalan lewat langit-langit mulut, berhenti di kerongkongan, keluar lewat kemaluan, hanyut dalam lautan rahmat, kemudian masuk ke gua garbha perempuan. Itulah jatuhnya nikmat di bumi rahmat. Di situ budi membuat istana baitullah yang mulia, terjadi lewat sabda kun fayakun. Di tengah rahim ibu itu takdir manusia ditentukan, rezekinya digariskan, umurnya juga dipastikan, tidak bisa dirubah, seperti tertulis dalam Lauh Mahfudz. Keberuntungan dan kematiannya tergantung pada nalar dan pengetahuan, yang kurang ikhtiarnya akan kurang beruntung pula.
Awal mula kiblat empat, yaitu timur (Wetan) barat (Kulon) selatan(Kidul) dan utara (Lor) adalah demikian. Wetan artinya wiwitan asal manusia mewujud; kulon artinya bapa kelonan; kidul artinya wstri didudul di tengah perutnya; lor artinya lahirnya jabang bayi. Tanggal pertama purnama, tarik sekali tenunan sudah selesai. Artinya pur: jumbuh, na: ana wujud; ma: madep kepada wujud. Jumbuh itu artinya lengkap, serba ada, menguasai alam besar kecil, tanggal manusia, lahir dari ibunya, bersama dengan saudaranya kakang mbarep (kakak tertua) adi ragil (adik terkecil). Kakang mbarep itu kawah, adi itu ari-ari. Saudara ghaib yang lahir bersamaan, menjaga hidupnya selama matahari tetap terbit di dunia, berupa cahaya, isinya ingat semuanya. Siang malam jangan khawatir kepada semua rupa, yang ingat semuanya, surup, dan tanggalnya pun sudah jelas, waktu dulu, sekarang atau besok, itu pengetahuan manusia Jawa yang beragama Buddha.
Raga itu diibaratkan perahu, sedangkan sukma adalah orang yang ada di atas perahu tadi, yang menunjukkan tujuannya. Jika perahunya berjalan salah arah, akhirnya perahu pecah, manusia rebah. Maka harus bertujua, senyampang perahu masih berjalan, jika tidak bertujuan hidupnya, dan matinya tidak akan bisa sampai tujuan, menepati kemanusiaannya. Jika perahu rusak maka akan pisah dengan orangnya. Artinya sukma juga pisah dengan budi, itu namanya syahadat, pisahnya kawula dengan Gusti. Sah artinya pisah dengan Dzat Tuhan, jika sudah pisah raga dan sukma, budi kemudian berganti baitullah, nafas memuji kepada Gusti.
Jika pisah sukma dan budi, maka manusia harus yang waspada, ingatlah asal-usul manusia, dan wajib meminta kepada Tuhan baitullah yang baru, yang lebih baik dari yang lama.
Raga manusia itu namanya baitullah itu perahu buatan Allah, terjadi dari sabda kun fayakun. Jika perahu manusia Jawa bisa berganti baitullah lagi yang lebih baik, perahu orang Islam hidupnya tinggal rasa, perahunya sudah hancur. Jika sukma itu mati di alam dunia kosong, tidak ada manusia. Manusia hidup di dunia dari muda sampai tua. Meskupun suksma manusia, tetapi jika tekadnya melenceng, matinya tersesat menjadi kuwuk, meskupun sukmanya hewan, tetapi bisa menjelma menjadi manusia.
Ketika Batara Wisnu bertahta di Medang Kasapta, binatang hutan dan makhluk halus dicipta menjadi manusia, menjadi rakyat Sang Raja. Ketika Eyang Paduka Prabu Palasara bertahta di Gajahoya, binatang hutan dan makhluk halus juga dicipta menjadi manusia. Maka bau manusia satu dan yang lainnya berbeda-beda, baunya seperti ketika masih menjadi hewan. Serat Tapak Hyang menyebut Sastrajendra Hayuningrat, terjadi dari sabda kun, dan menyebut jituok artinya hanya puji tok.
Dewa yang membuat cahaya bersinar meliputi badan. Cahya artinya incengan aneng cengelmu. Jiling itu puji eling kepada Gusti. Punuk artinya panakna. Timbangan artinya salang. Pundak itu panduk, hidup di dunia mencari pengetahuan dengan buah kuldi, jika beroleh buah kuldi banyak, beruntungnya kaya daging, apabila beroleh buah pengetahuan banyak, bisa untuk bekal hidup, hidup langgeng yang tidak bisa mati. Tepak artinya tepa-tapa-nira, Walikat, walikaning urip. Ula-ula, ulatana, laleren gegermu kang nggligir. Sungsum artinya sungsungen. Labung, waktu Dewa menyambung umur, alam manusia itu sampungan, ingat hidup mati.
Lempeng kiwa tengen artinya tekad yang lahir batin, purwa benar dan salah, baik dan buruk. Mata artinya lihatlah batin satu, yang lurus kiblatmu, keblat utara benar satu. Tengen artinya tengenen kang terang, di dunia hanya sekedar memakai raga, tidak membuat tidak memakai. Kiwa artinya, raga iki isi hawa kekajengan, tidak wenang mengukuhi mati. Demikian itu bunyi serat tadi. Jika Paduka mencela, siapa yang membuat raga? Siapa yang memberi nama? Hanya Lata wal Hujwa, jika Paduka mencaci, Paduka tetap kafir, cela mati Paduka, tidak percaya kepada takdirGusti, dan murtad kepada leluhur Jawa semua, menempel pada besi, kayu batu, menjadi iblis menunggu tanah. Jika Paduka tidak bisa membaca sasmita yang ada di badan manusia, mati Paduka tersesat seperti kuwuk. Adapun jika bisa membaca sasmita yang ada pada raga tadi, dari manusia menjadi manusia. Disebut dalam Serat Anbiya, Kanjeng Nabi Musa waktu dahulu manusia yang mati di kubur, kemudian bangun lagi, hidupnya ganti ruh baru, ganti tempat baru.
Jika Paduka memeluk agama Islam, manusia Jawa tentu kemudian Islam semua. Badan halus hamba sudah tercakup dan manunggal menjadi tunggal, lahir batin, jadi tinggal kehendak hamba saja. Adam atau wujud bisa sama, jika saya ingin mewujud, itulah wujud hamba, kehendak Adam, bisa hilang seketika. Bisa mewujud dan bisa menghilang seketika. Raga hamba itu sifat Dewa, badan hamba seluruhnya punya nama sendiri-sendiri.
Coba Paduka tunjuk, badan Sabdapalon. Semua sudah jelas, jelas sampai tidak kelihatan Sabdopalon, tinggal asma meliputi badan, tidak muda tidak tua, tidak mati tidak hidup. Hidupnya meliputi dalam matinya. Adapun matinya meliputi dalam hidupnya, langgeng selamanya.”
Sang Prabu bertanya,
“Di mana Tuhan yang Sejati?”
Sabdopalon berkata,
“ Tidak jauh tidak dekat, Paduka bayangannya. Paduka wujud sifat suksma. Sejati tunggal budi, roh, dan badan. Tiga-tiganya itu satu, tidak terpisah, tetapi juga tidak berkumpul. Paduka itu raja mulia tentu tidak akan khilaf kepada kata-kata hamba ini.”
Tanya Prabu pada Sabdopalon;
“Apa kamu tidak mau masuk agama Islam?”
Sabdopalon berkata dengan sedih,
“Ikut agama lama, kepada agama baru tidak! Kenapa Paduka berganti agama tidak bertanya hamba? Apakah Paduka lupa nama hamba, Sabdapalon? Sabda artinya kata-kata, Palon kayu pengancing kandang. Naya artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi bicara hamba itu, bisa untuk pedoman orang tanah Jawa, langgeng selamanya.”
Prabu Brawijaya mengeluh
“Bagaimana ini, aku sudah terlanjur masuk agama Islam, sudah disaksikan Sahid, aku tidak boleh kembali kepada agama Budha lagi, aku malu apabila ditertawakan bumi langit.”
Sabdopalon berkata,
“Iya sudah, silahkan Paduka jalani sendiri, hamba tidak ikut-ikutan.”
Sunan Kalijaga kemudian berkata kepada Sang Prabu, yang isinya jangan memikirkan yang tidak-tidak, karena agama Islam itu sangat mulia.
Ia akan menciptakan air yang di sumber sebagai bukti, lihat bagaimana baunya. Jika air tadi bisa berbau wangi, itu pertanda bahwa Sang Prabu sudah mantap kepada agama Rasul, tetapi apabila baunya tidak wangi, itu pertanda jika Sang Prabu masih berpikir Buda. Sunan Kalijaga kemudian mengheningkan cipta. Seketika air sumber menjadi berbau wangi. Sunan Kalijaga berkata kepada Sang Prabu, seperti yang sudah dikatakan, bahwa Sang Prabu nyata sudah mantap kepada agama Rasul, karena air sumber baunya wangi.
Sabdopalon berkata kepada Sang Prabu,
“Itu kesaktian apa? Kesaktian kencing hampa kemarin sore dipamerkan kepada hamba. Seperti anak-anak, jika hamba melawan kencing hamba sendiri. Paduka dijerumuskan, hendak menjadi jawan, suka menurut ikut-ikutan, tanpa guna hamba asuh. Hamba wirang kepada bumi langit, malu mengasuh manusia tolol, hamba hendak mencari asuhan yang satu mata. Hamba menyesal telah mengasuh Paduka.
Jika hamba mau mengeluarkan kesaktian, air kencing hamba, kentut sekali saja, sudah wangi. Jika paduka tidak percaya, yang disebut pedoman Jawa, yang bernama Manik Maya itu hamba, yang membuat kawah air panas di atas Gunung Mahameru itu semua hamba.
Adikku Batara Guru hanya mengizinkan saja. Pada waktu dahulu tanah Jawa gonjang-ganjing, besarnya api di bawah tanah. Gunung-gunung hamba kentuti. Puncaknya pun kemudian berlubang, apinya banyak yang keluar, maka tanah Jawa kemudian tidak bergoyang, maka gunung-gunung tinggi puncaknya, keluar apinya serta ada kawahnya, berisi air panas dan air tawar. Itu hamba yang membuat. Semua tadi atas kehendak Lata wal Hujwa, yang membuat bumi dan langit.
Apa cacadnya agama Budha, manusia bisa memohon sendiri kepada Yang Maha Kuasa. Sungguh jika sudah berganti agama Islam, meninggalkan agama Budha, keturunan Paduka akan celaka, Jawa tinggal Jawan, artinya hilang, suka ikut bangsa lain.
Besok tentu diperintah oleh orang Jawa yang mengerti. Coba Paduka saksikan, bulan depan bulan tidak kelihatan, biji mati tidak tumbuh, ditolak oleh Dewa. Walaupun tumbuh kecil saja, hanya untuk makanan burung, padi seperti kerikil, karena paduka yang salah, suka menyembah batu. Paduka saksikan besok tanah Jawa berubah udaranya, tambah panas jarang hujan. Berkurang hasil bumi, banyak manusia suka menipu. Berani bertindak nista dan suka bersumpah, hujan salah musim, membuat bingung para petani. Sejak hari ini hujan sudah berkurang, sebagai hukuman banyak manusia berganti agama.
Besok apabila sudah bertaubat, ingat kepada agama Budha lagi, dan kembali mau makan buah pengetahuan, Dewa kemudian memaafkan, hujan kembali seperti jaman Buda.”
Sang Prabu mendengar kata-kata Sabdapalon dalam batin merasa sangat menyesal karena telah memeluk agama Islam dan meninggalkan agama Buddha.
Lama beliau tidak berkata. Kemudian ia menjelaskan bahwa masuknya agama Islam itu karena terpikat kata putri Cempa, yang mengatakan bahwa orang agama Islam itu kelak apabila mati, masuk surga yang melebihi surganya orang kafir.
Sabdapalon berkata sambil meludah,
“Sejak jaman kuno, bila laki-laki menurut perempuan, pasti sengsara, karena perempuan itu utamanya untuk wadah, tidak berwewenang memulai kehendak.”
Sabdapalon banyak-banyak mencaci Sang Prabu.
“Kamu cela sudah tanpa guna, karena sudah terlanjur, sekarang hanya kamu kutanya, masihkah tetapkah tekadmu? Aku masuk agama Islam, sudah disaksikan oleh si Sahid, sudah tidak bisa kembali kepada Buddha lagi.”
Sabdapalon berkata bahwa dirinya akan memisahkan diri dengan beliau. Ketika ditanya perginya akan ke mana? Ia menjawab tidak pergi, tetapi tidak berada di situ, hanya menepati yang namanya Semar, artinya meliputi sekalian wujud, anglela kalingan padang.
Sang Prabu bersumpah, besok apabila ada orang Jawa tua, berpengetahuan, yaitulah yang akan diasuh Sabdapalon. Orang Jawa akan diajari tahu benar salah. Sang Prabu hendak merangkul Sabdapalon dan Nayagenggong, tetapi kedua orang tersebut musnah.
Sang Prabu kemudian menyesal dan meneteskan air mata. Kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga,
”Besok Negara Blambangan gantilah nama dengan Negara Banyuwangi agar menjadi pertanda kembalinya Sabdapalon ke tanah Jawa membawa asuhannya. Adapun kini Sabdopalon masih dalam alam Ghaib.”
Sunan Kalijaga kemudian diperintahkan menandai air sumber, jika bau harumnya hilang, besok, orang Jawa akan meninggalkan agama Islam, kembali ke agama Kawruh.
Sunan Kalijaga kemudian membuat dua buah tabung bambu, yang satu diisi air tawar, satunya diisi air sumber. Air sumber tadi untuk pertanda, jika bau wangi hilang, orang tanah Jawa akan kembali ke agama Kawruh. Tabung setelah diisi air, kemudian ditutup daun pandan dan dibawa dua orang sahabatnya.
Prabu Brawiaya kemudian pergi, diiringkan Sunan Kalijaga dan dua orang sahabatnya. Malam harinya istirahat di Sumberwaru. Esok harinya tabung itu dibuka, airnya dicium masih wangi, kemudian segera melanjutkan perjalanan lagi agar ketika matahari tenggelam sudah sampai di Panarukan. Sang Prabu istirahat di sana.
Pagi harinya air dicium masih wangi. Sang Prabu kemudian melanjutkan perjalanan lagi. Sesudah matahari tenggelam mereka telah sampai di Besuki. Sang Prabu beristirahat di sana. Esok harinya tabung air dicium masih berbau wangi. Sang Prabu kemudian meneruskan perjalanan sampai matahari tenggelam. Sampai di Prabalingga, disitu juga istirahat semalam.
Esok paginya air itu dilihat lagi. Air yang tawar masih enak, tetapi berbusa harum. Tetapi tinggal sedikit, karena kerap diminum di jalan. Sedangkan air sumber setelah dicium baunya menjadi bacin (=busuk), lalu dibuang.
Sang Prabu kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga, “Prabalingga di besuk namanya dua, Prabalingga dan Bangerwarih. Di sini besok menjadi tempat untuk perkumpulan orang-orang yang mencari pengetahuan kepintaran dan kebatinan. Prabalingga artinya perbawanya orang Jawa tertutup dengan perbawa tetangga.” Sang Prabu kemudian segera meneruskan perjalanan, agar dalam waktu tujuh hari sudah sampai di Ampelgading. Nyai Ageng Ambil menyambut kemudian menyembah kepada Sang Prabu sambil menangis bercucuran air mata.
Sang Prabu kemudian berkata,”
Jangan menangis, sudahlah semuanya sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa. Aku dan kamu hanya sekedar menjalani, semua peristiwa ini sudah ditulis dalam Lauh Mahfudz. Baik buruk jangan ditolak. Sudah kewajiban orang hidup sabar dan menerima.”
Nyai Ageng Ampel kemudian berkata kepada Sang Prabu, melaporkan tingkah laku cucunya, Prabu Jimbun, seperti yang sudah diceritakan di depan. Sang Prabu kemudian memerintahkan untuk memanggil Prabu Jimbun. Nyai Ampel mengutus santri ke Demak dengan membawa surat. Sesampai di Demak, surat disampaikan kepada Sang Prabu Jimbun.
Tidak lama kemudian Prabu Jimbun berangkat menghadap ke Ampel. Putra raja Majapahit, yang bernama Raden Bondan Kejawan di Tarub, mendengar berita bahwa negara Majapahit dibedah oleh Adipati Demak, malah Sang Prabu meloloskan diri dari istana, tidak jelas ke mana larinya. Merasa tidak enak pikirnya, maka kemudian pergi ke Majapahit.
Raden Bondan Kejawan menyamar untuk mencari berita dimana ayahandanya. Sesampai di Surabaya ia mendengar berita bahwa Sang Prabu ada di Ampel, tetapi kemudian sakit. Raden Bondankejawan kemudian menghaturkan sembah bhakti.
Sang Prabu bertanya,
“Siapa yang menyembah ini?”
Raden Bondan Kejawan berkata,
“Hamba putra Paduka, Bondhan Kejawan.”
Sang Prabu kemudian merangkul putranya. Sakitnya Sang Prabu semakin parah. Beliau merasa sudah akan pulang kepada jaman kelanggengan. Kata beliau kepada Sunan Kalijaga demikian,
“Sahid, mendekatlah kemari, aku sudah akan kembali ke jaman kelanggengan, buatlah surat ke Penging dan Ponorogo. Nanti kuberi tanda tangan. Aku sudah terima hancurnya Majalengka. Jangan ada perang berebut tahtaku, semua tadi sudah kehendak Yang Maha Suci, jangan ada perang, karena hanya akan membuat kekacauan dunia. Sayangilah rakyat dan jangan merusak tanah Jawa. Menghadaplah ke Demak. Jangan ada yang memulai perang setelah aku. Kuminta kepada Yang Maha Kuasa, perangnya akan kalah.”
Sunan Kalijaga kemudian menulis surat. Setelah selesai kemudian ditandatangani oleh Sang Prabu. Kemudian diberikan kepada Adipati Pengging dan Ponorogo.
Sang Prabu kemudian berkata,
“Sahid, setelah aku tidak ada, pandai-pandalah kamu memelihara anak cucu-ku. Aku titip anak kecil ini. Seketurunannya asuhlah. Bila ada untungnya, besok anak ini yang bisa menurunkan bibit tanah Jawa. Dan lagi pesanku kepada kamu, apabila aku sudah kembali ke alam kalanggengan, kuburkan aku di Majapahit sebelah utara laut buatan. Adapun kuburanku kuberi nama Sastrawulan. Siarkan kabar bahwa yang dikubur di situ Raja Putri Cempa. Dan lagi pesanku, besok anak cucuku jangan sampai kawin dengan lain bangsa. Jangan sampai membuat panglima perang orang bangsa lain.”
Sunan Kalijaga kemudian menjawab,
“Apakah Sang Prabu tidak memberi izin kepada putra Paduka Prabu Jimbun untuk menjadi raja di tanah Jawa?”
Sang Prabu berkata,
“Ya, kuberi izin, tetapi hanya berhenti tiga keturunan.”
Sunan Kalijaga meminta petunjuk apa artinya nama kuburan Sang Prabu.
“Sastra artinya tulisan, wulan artinya cahaya dunia. Artinya kuburanku hanya seperti cahaya rembulan. Apabila masih kemilau cahaya rembulan, nanti orang Jawa ingat bahwa kematianku sudah memeluk agama Islam. Maka kutinggikan Putri Cempa, karena aku sudah dibetinakan oleh si Patah, serta tidak dianggap laki-laki, sampai aku disia-siakan seperti ini. Maka aku hanya mengizinkan ia menjadi raja hanya dalam tiga keturunan. Karena si Patah itu dari tiga bangsa, Jawa, Cina, dan Raksasa. Maka ia tega kepada ayah serta ngawur caranya. Maka wasiatku, anak cucuku jangan kawin dengan lain bangsa, karena dalam berkasih-kasihan dengan orang lain bangsa tadi bisa merubah keyakinan. Bisa mencelakai hidup, maka aku memberi wasiat jangan mengangkat panglima perang orang yang lain bangsa. Karena akan menginjak Gustinya, dalam berperang mendua hati. Sudah Sahid, semua wasiatku tulislah.”
Sang Prabu setelah bersabda demikian, tangannya kemudian bersedekap, terus wafat. Jenazahnya kemudian dikuburkan di Astana Sastrawulan Majapahit.
Sampai sekarang terkenal bahwa yang dikubur di situ adalah Sang Putri Cempa. Adapun sebenarnya Putri Cempa itu wafatnya di Tuban. Tepatnya kuburan di Karang Kemuning. Setelah tiga hari wafatnya Prabu Brawijaya, dikisahkan Sultan Bintara (Raden Patah) baru datang di Ampelgading dan bertemu Nyai Ageng Ampel.
Nyai Ageng berkata,
“Celaka kamu Jimbun, tidak melihat wafatnya ayahanda, jadi tidak bisa sungkem serta minta izin olehnya menjadi raja, serta minta ampunan semua kesalahan yang sudah terjadi.”
Prabu Jimbun berkata kepada Nyai Ageng, ia hanya bisa pasrah kepada takdir. Barang yang sudah terlanjur hanya bisa dijalani. Sultan Demak di Ampel tiga hari dan kemudian pulang kembali ke Demak.
Diceritakan Adipati Pengging dan Ponorogo, yaitu Pangeran Handayaningrat di Pengging dan Raden Batara Katong, sudah mendengar berita bahwa negara Majapahit dibedah oleh Adipati Demak dengan menyamar menghadap kepada Sang Prabu waktu Hari Raya Grebeg..
Adapun Prabu Brawijaya dan putra Raden Gugur meloloskan diri dari istana dan tidak ketahuan besembunyi dimana. Adipati Pengging dan Adipati Ponorogo sangat marah. Keduanya kemudian menyiapkan sebuah pasukan hendak menyerang Demak, membela ayah merebut tahta. Para prajurit sudah siap senjata untuk menempuh perang hanya tinggal berangkat. Tiba-tiba datang utusan dari Sang Prabu Brawijaya memberikan surat wasiat. Adipati Pengging dan Adipati Ponorogo segera menerima dan membaca surat tersebut. Surat itu kemudian disembah dengan meneteskan air mata berat. Keduanya terhenyak, marah, giginya gemeretuk, wajahnya merah seperti api, dan kata-katanya ketus menyumpah kepada ayahnya sendiri, mudah-mudahan jangan hidup lebih lama lagi, agar tidak memperpanjang rasa malu. Kedua adipati ngotot tidak mau menghadap ke Demak, karena gelap pikirannya kemudian keduanya jatuh sakit dan tidak lama kemudian meninggal.
SEKALANING (KIASAN) RUNTUHNYA MAJAPAHIT
Adapun menurut pendapat yang lain, matinya Adipati Pengging dan Ponorogo karena ditenung oleh Sunan Giri, agar jangan mengganggu di belakang hari. Maka cerita hancurnya negeri Majapahit itu disembunyikan, tidak seimbang dengan kebesaran serta luasnya kekuasaannya. Semua itu untuk menutupi rahasia raja, seorang putra memusuhi ayahandanya. Apabila dipikirkan sangat memalukan. Sejarah hancurnya Majapahit disemukan oleh para pujangga bijaksana menjadi demikian:
“Karena Karomah para wali, keris Sunan Giri ditarik keluar ribuan tawon yang menyengati orang Majapahit. Mahkota Sunan Gunung Jati Cirebon, keluar tikusnya beribu-ribu menggerogoti bekal dan pelana kuda prajurit Majapahit sehingga bubar, karena banyaknya tikus.”
“Peti dari Palembang ada di tengah perang dibuka keluar demit-nya, orang Majapahit geger karena ditenung demit. Sang Prabu Brawijaya wafat mikraj.”
Kemudian Kyai Kalamwadi bertutur kepada murid yang bernama Darmo Gandhul, “Namun semua tadi hanya pasemon (kiasan). Adapun kenyataannya, cerita hancurnya Majapahit itu seperti yang kuceritakan tadi. Negara Majapahit itu besar dan kokoh. Akan tetapi bisa rusak karena digerogoti tikus? Biasanya tawon itu bubar karena diganggu orang. Hutan angker banyak demitnya. Bubarnya demit apabila hutannya dirusak oleh manusia untuk dibuat sawah. Tetapi apabila Majapahit rusak karena dari tikus, tawon, dan demit, siapa yang percaya?
Apabila orang percaya Majapahit hancur karena tikus, tawon, dan demit, itu artinya orang tadi tidak tajam pikirannya. Cerita yang demikian tadi aneh dan tidak masuk akal. Tidak cocok lahir batin. Maka hanya untuk pasemon (kiasan). Apabila diterangkan dengan jelas maka artinya membuka rahasia Majapahit. Maka hanya diberi perlambang agar orang berpikir sendiri. Adapun pasemon tadi artinya demikian:
Tikus itu wataknya remeh, tetapi lama-lama apabila dibiarkan akan berkembang biak. Artinya, para ulama awalnya ketika baru sampai di Jawa meminta perlindungan kepada Prabu Brawijaya di Majapahit. Sesudah diberi, balas merusak.
Tawon itu membawa madu yang rasanya sangat manis, senjatanya berada di anus. Adapun tempat tinggalnya di dalam tala, artinya tadinya ketika dimuka memakai kata-kata yang manis, akhirnya menyengat dari belakang. Adapun tala artinya mentala ‘tega’ merusak Majapahit, siapa yang mendengar pasti marah.
Adapun demit diberi wadahi peti dari Palembang, setelah dibuka berbunyi menggelegar. Artinya Palembang itu mlembang, yaitu ganti agama.
Peti artinya wadah yang tertutup untuk mewadahi barang yang samar. Demit artinya samar, remit, rungsid. Demit itu juga tukang santet.
Adapun jelasnya demikian, hancurnya Negeri Majapahit disantet dengan cara samar, ketika akan menyerang tidak ada tantangan apa-apa, menyamar hanya untuk menghadap ketika hari raya grebeg. Mereka dikejutkan, Orang Majapahit tidak siap senjata, tahu-tahu Adipati Terung sudah membantu Adipati Demak.
Sejak Jaman Kuno belum pernah ada kerajaan besar seperti Majapahit hancur dengan disengat tawon serta digerogoti tikus saja, bubarnya orang sekerajaan hanya karena disantet demit. Hancurnya Majapahit suaranya menggelegar, terdengar sampai ke negara mana-mana. Kehancuran tersebut karena diserang oleh anaknya sendiri dibantu yaitu Wali Delapan atau Sunan Delapan yang disujudi orang Jawa. Sembilannya Adipati Demak.
Kemudian lagi kata Ki Kalamwadi,
“Guruku Raden Budi Sukardi meriwayatkan sebelum Majapahit hancur, burung kuntul itu belum ada yang memakai kuncir. Setelah negara pindah ke Demak, keadaan di Jawa juga berubah. Lantas ada burung kuntul memakai kuncir.”
Prabu Brawijaya disindir, Kebo kombang atine entek dimangsa tuma kinjir. Kebo artinya kerbau, yakni raja kaya, Kombang artinya diam tapi suaranya riuh, yaitu Prabu Brawijaya tak habis pikir ketika Majapahit hancur. Maksudnya diam marah saja, tidak berkenan melawan dengan perang. Adapun tuma kinjir itu kutu babi hutan. Tuma artinya tuman ‘terbiasa’, babi hutan itu juga bernama andapan, yaitu Raden Patah ketika sampai di Majapahit bersujud kepada ayahanda Sang Prabu. Waktu itu diberi pangkat, artinya mendapat simpati dari Sang Prabu. Tapi akhirnya memerangi dan merebut tahta. Tidak berpikir benar dan salah, sampai Sang Prabu tidak habis pikir.
Adapun kuntul memakai kuncir itu pasemon Sultan Demak. Ia mengejek-ejek kepada Sang Prabu, karena agamanya Buddha kawak kafir kufur. Makanya Gusti Allah memberi pasemon gitok kuntul kunciran. Artinya lihatlah tengkukmu, ibumu putri Cina, tidak boleh menghina kepada orang lain beragama.
Sang Prabu Jimbun itu berasal dari tiga benih. Asalnya Jawa, maka Sang Prabu Jimbun besar hati menginginkan tahta raja, ingin cepat kaya sesuai sifat ibunya. Adapun berani tanpa pikir itu dari sifat Sang Arya Damar, karena Arya Damar itu ibunya putri raksasa, senang minum darah, sifatnya sia-sia. Maka ada kuntul memakai kuncir itu sudah kehendak Allah, tidak hanya Sunan Demak sendiri saja yang diperingati mengakui kesalahannya, tetapi juga para wali lainnya. Apabila tidak mau mengakui kesalahannya, dosanya lahir batin. Maka namanya wali diartikan walikan dibaiki membalas kejahatan.
Posting Komentar